Kabar24.com, JAKARTA - Sebelum menghilang, Jamal Khashoggi menulis kolom di Washington Post tentang kebebasan pers di Arab Saudi.
Karren Attiah, salah satu editor Global Opinions menerima tulisan itu dari editor dan asisten Khashoggi sehari setelah ia dikabarkan hilang di Istanbul.
Karren berharap bisa menyunting dan mendiskusikannya bersama dengan Khashoggi, sayangnya keinginannya itu tak mungkin terwujud, menyusul kabar Khashoggi sudah tewas. The Post, sendiri memilih menahan publikasi tulisan itu.
Kini, satu per satu misteri hilangnya Khashoggi mulai terkuak. Attiah bersama The Post harus menerima satu hal: ini adalah tulisan terakhir dari Khashoggi untuk The Post yang akan mereka publikasikan.
Berikut tulisan Jamal Khashoggi seperti dikutip Washington Post.
Baru-baru ini saya mencari informasi di internet soal laporan terbaru kebebasan informasi yang dipublikasi Freedom House dan harus dihadapkan pada fakta yang menyedihkan.
Hanya ada satu negara di kawasan Timur Tengah masuk dalam kategori ‘bebas.’ Negara itu adalah Tunisia. Sementara itu Yordania, Maroko, dan Kuwait masuk kategori ‘sebagian bebas.’ Lalu sisanya masuk klasifikasi ‘tidak bebas.’
Hasilnya bisa dilihat, orang-orang yang hidup di kawasan ini cenderung tidak mendapat informasi atau memperoleh informasi yang salah. Mereka tidak bisa bicara banyak, apalagi berdiskusi di tempat umum soal hal-hal yang memengaruhi kawasan tersebut atau hidup mereka.
Negara menjadi satu-satunya narator informasi yang mereka dengar. Meski ada yang tidak percaya, sebagian besar menjadi korban narasi tunggal ini. Kondisi ini tampaknya tidak akan berubah.
Dunia Arab sempat dipenuhi harapan kala Arab Spring 2011 terjadi. Jurnalis, akademisi, dan masyarakat luas di negara masing-masing berekspektasi akan kehadiran masyarakat yang cerah dan bebas.
Mereka berharap lepas dari hegemoni pemerintah, bebas dari intervensi tanpa henti dan tak ada lagi sensor informasi. Api masih jauh dari arang, ekspektasi itu keburu hancur. Masyarakat kembali ke kondisi lama, atau yang terburuk, harus menghadapi kondisi lebih keras dari sebelumnya.
Kawan-kawanku, salah satu penulis termahsyur Arab Saudi Saleh al-Shehi, pernah menulis salah satu kolom paling terkenal yang pernah dunia pers Saudi saksikan. Ia sayangnya harus menjalani hukuman lima tahun penjara tak beralasan atas komentarnya yang bertentangan dengan pemerintah.
Sementara itu, aksi penyitaan surat kabar al-Masry al Youm oleh pemerintah Mesir tidak memicu sedikit pun reaksi sesama insan pers. Aksi-aksi represif ini tak lagi mendapat reaksi komunitas internasional. Alih-alih dikecam, tekanan terhadap kebebasan hanya memicu kecaman yang diikuti aksi diam.
Aksi diam ini seolah membuka keran bagi pemerintah di negara-negara Timur Tengah untuk terus membungkam media. Para jurnalis sempat percaya bahwa kehadiran internet bisa menjadi jalan pembuka menuju kebebasan dari sensor dan kontrol yang melekat pada media cetak. Namun, pemerintah yang sangat tergantung pada kontrol informasi, secara agresif memblokir internet.
Mereka juga menahan para reporter dan menekan pengiklan supaya pemasukan terhadap sejumlah publikasi terganggu.
Di tengah kondisi ini, setidaknya ada sedikit angin segar yang membawa semangat Arab Spring. Pemerintah Qatar misalnya, terus memberikan dukungan terhadap pemberitaan internasional.
Apa yang dilakukan pemerintah Qatar sangat kontras dengan kebijakan tetangganya. Mereka lebih memilih mengontrol media untuk melanggengkan gaya pemerintahan lawas.
Bahkan di negara seperti Tunisia dan Kuwait yang dianggap ‘sebagian bebas’, media setempat lebih fokus mengangkat isu domestik dari pada isu yang dihadapi komunitas Timur Tengah secara regional.
Mereka tampak enggan untuk menyajikan ruang bagi jurnalis Arab Saudi, Mesir, dan Yaman. Kisah serupa juga melanda Lebanon, yang kerap dianggap sebagai putra mahkota dunia Arab ketika menyangkut kebebasan pers. Kini mereka menjadi korban polarisasi dan pengaruh dari Hizbullah yang pro-Iran.
Dunia Arab saat ini merasakan Tirai Besi versi mereka sendiri. Tirai itu bukan pemberian aktor luar, tapi oleh kekuatan domestik yang berlomba-lomba mendapuk kuasa. Selama Perang Dingin, Radio Free Europe, hadir selama bertahun-tahun sebagai lembaga kritis. Ia memainkan peran penting dalam membina dan mempertahankan harapan kebebasan.
Orang-orang Arab membutuhkan sesuatu yang serupa. Pada tahun 1967, New York Times dan The Post mengambil kepemilikan bersama surat kabar International Herald Tribune, yang kemudian menjadi sarana bagi suara-suara dari seluruh dunia.
The Post, yang mempublikasikan tulisan saya, telah mengambil inisiatif untuk menerjemahkan banyak tulisan saya ke bahasa Arab. Saya mengapresiasi hal itu. Orang-orang Arab perlu membacanya dengan bahasa ibu mereka sehingga bisa memahami dan mendiskusikan beragam aspek dan seluk-beluk demokrasi di Amerika Serikat dan Barat.
Jika orang Mesir membaca artikel soal biaya yang dibutuhkan untuk sebuah proyek di Washington, mereka mungkin bisa memahami dampak proyek serupa di negaranya.
Masyarakat di kawasan Arab membutuhkan media lintas negara gaya lama namun dalam versi yang lebih modern. Media ini hadir supaya mereka memperoleh informasi soal dinamika global. Yang lebih penting, kita perlu wadah untuk menampung suara-suara orang Arab.
Saat ini kita dilanda kemiskinan, menyaksikan sistem yang salah urus, dan pendidikan yang buruk. Pembentukan forum internasional independen yang lepas dari pengaruh pemerintah akan melepas kita dari propaganda dan kebencian. Dengan begitu, orang-orang di Timur Tengah akan mampu mengatasi masalah struktural yang mereka hadapi.