Bisnis.com, JAKARTA – Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika Yogyakarta dan Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta meluncurkan buku berisi refleksi para jurnalis dan masyarakat sipil saat menghadapi masa-masa intoleransi di Yogyakarta dalam beberapa waktu belakangan dengan judul Jurnalis Bukan Juru Ketik.
Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) Yogyakarta, Agnes Dwi Rusjiyati mengatakan dalam enam tahun terakhir, ada banyak perubahan sikap masyarakat di Yogyakarta karena semakin tingginya sikap-sikap intoleransi terhadap umat beragama.
Hal itu mendorong Agnes, yang sebelumnya berkarya sebagai jurnalis di Jakarta kembali ke Yogyakarta untuk membantu advokasi masyarakat sipil dan mendampingi jurnalis dalam pemberitaan kasus-kasus intoleransi.
“Banyak tindakan intoleran itu berawalnya dengan penutupan tempat ibadah, awalnya dengan mempertanyakan izin rumah ibadah. Itu mulai marak dilakukan pada 2011,” kata Agnes di Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Selasa (16/10/2018).
Agnes menceritakan terkait maraknya izin mendirikan bangunan (IMB) yang dijadikan permasalahan. Kondisi ini memicu kelompok minoritas menjadi golongan yang termarjinalkan dan rentan untuk mengungkapkan hal-hal yang mereka alami kepada pemerintah setempat maupun media massa. Alhasil, ada kesan terjadi pembiaran dari pemerintah daerah terhadap kaum minoritas yang akhirnya menjadi korban.
Agnes menyebut, pihak ANBTI Yogyakarta akhirnya mulai mengadvokasi terhadap rumah ibadah yang dipertanyakan IMB sejak 2006.
“Kami mendorong izin rumah ibadah itu sejak 2006, padahal sebenarnya aturan itu sudah ada di peraturan daerah melalui pemerintahnya. Jadi ada ketegasan bahwa rumah ibadah sudah diresmikan izinnya, dan tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan,” terang Agnes.
Dia mengakui ada sejumlah kecemasan pada masyarakat ketika hendak melalui proses advokasi damai. Kondisi ini juga membuat golongan minoritas tidak memiliki rasa kepercayaan untuk berbagi informasi dengan jurnalis.
“Perlahan kami mendorong bahwa umat beragama juga harus berani tampil di media dan bisa berhadapan dengan jurnalis,” paparnya.
Agnes lantas melakukan beberapa pendekatan dengan memberi posisi kepada jurnalis dalam proses advokasi guna menciptakan kepercayaan antara golongan minoritas sebagai narasumber dan jurnalis sebagai pencari informasi. Sebagai contoh, ketika terjadi penolakan terhadap seorang camat di Bantul, Yogyakarta, ANBTI Yogyakarta mencoba mendorong jurnalis untuk mau meliput fenomena tersebut dengan tujuan agar tidak ada upaya menekan bupati mengganti keputusannya.
“Jurnalis harus berani memberikan pendidikan dan afirmasi kepada publik. Meski dengan waktu yang sempit, jurnalis perlu membuat list narasumber yang banyak supaya bisa memberikan perspektif lebih dari satu, tidak tunggal dari pemerintah atau kepolisian,” sambungnya.
Beberapa contoh kasus yang cukup hangat di Yogyakarta terkait intoleransi adalah saat fenomena Gafatar sebagai ajaran sesat. Menurut Agnes, sejumlah pemberitaan media massa terkait Gafatar seringkali memberi perspektif yang memarjinalkan komunitas tertentu.
“Maka perlu ada proses refleksi dari teman-teman jurnalis untuk menggabungkan nurani saat menulis tentang bagaimana dampaknya pada komunitas yang dia tulis,” kata Agnes.
Sementara itu, Bambang Muryanto, anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengatakan dalam contoh kasus Gafatar, banyak jurnalis yang juga mengeluhkan sulitnya akses terhadap narasumber dari penganut Gafatar. Semua informasi akhirnya tersentralisasi dari kepolisian. Akibatnya, jurnalis harus terus dipaksa berpikir kritis, jika semua akses informasi tertutup, apakah ada potensi bahwa kasus ini direncakan secara sengaja.
“Semua informasi berasal dari polisi. Setelah itu, tiba-tiba muncul banyak penculikan lain di Yogyakarta. Pertanyaannya, apakah ini by design? Karena tak bisa mengakses informasi dari Gafatar, kita harus skeptis tentang hal itu,” kata Bambang.
Bambang menilai jurnalis bisa mengambil peran menagih janji negara untuk perlindungan terhadap seluruh elemen masyarakat termasuk kaum minoritas.
Ahmad Junaidi, Direktur Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) menambahkan salah satu yang juga penting dari pemberitaan kasus intoleransi adalah perspektif jurnalis di lapangan maupun perspektif editor atau redaktur. Masih ada beberapa isu intoleransi yang sengaja tidak dipublikasikan karena perspektif yang belum selaras.
“Perspektif jurnalis di lapangan juga di perspektif redaktur juga harus sudah selesai. Karena di tingkat newsroom yang tak mau tulis isu tertentu kemudian ini tak akan muncul. Maka itu tidak bisa menjadi wacana publik. Persoalan tiga level ini membuat isu intoleransi tidak bergaung. Jadi contoh diberikan secara adil juga ruang-ruang untuk mereka yang dimarjinalkan,” kata Ahmad.