Bisnis.com, JAKATA – Dalam sistem hukum Indonesia tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat meralat kesalahan penulisan, atau apabila terdapat peraturan atau norma sanksi yang bertentangan antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain.
Kewenangan Mahkamah Agung (MA) hanya menguji peraturan di bawah undang-undang apakah peraturan yang ditinjau itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau tidak, dan bukan menguji undang-undang tersebut.
Begitu pula kewenangan Mahkamah Konstitusi, di antaranya, menilai dan mengadili apakah peraturan pada pasal, dan/atau ayat pada undang-undang yang akan diadili itu bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak? Sedangkan UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12/2011) mengatur, di antaranya, tentang perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Ketentuan umum pada UU No. 12/2011 secara jelas menyatakan bahwa undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden, dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, di antaranya meliputi kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan serta dapat dilaksanakan.
Selain itu, UU No. 12/2011 juga mengharuskan materi muatan peraturan perundang-undangan mencerminkan asas, diantaranya ketertiban dan kepastian hukum dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Namun, UU No. 12/2011 tidak mengatur kewenangan Presiden atau kementerian untuk meralat, merenvoi pasal-pasal atau kata yang telah salah ditulis pada undang-undang dan penjelasan undang-undang yang telah dicantumkan dalam lembaran negara dan tambahan lembaran negara.
UU No. 20/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UUM) yang telah disahkan pada 25 November 2016, telah diundangkan pada tanggal 25 November 2016, dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252 (LN), yang disalin sesuai dengan aslinya oleh Kementerian Sekretaris Negara Republik Indonesia, Asisten Deputi Bidang Perekonomian, Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan, Lydia Silvanna Djaman.
Penjelasan undang-undang itu juga telah dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953 (TLN), ternyata UUM yang telah dipublikasikan, diedarkan oleh pemerintah, dan berbagai media cetak serta media elektronik masih tertulis “Penjelasan atas Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.” Seharusnya kata ‘rancangan’ itu dihapus jika telah disahkan menjadi undang-undang.
Ketidakcermatan Tim Penyusun Rancangan UUM, dan instansi terkait untuk melakukan penyisiran dan telaah ulang hasil pembahasan rancangan UUM yang telah disetujui DPR itu mengakibatkan UUM dapat dinyatakan tidak sah atau UUM itu tetap sah diberlakukan tanpa memiliki penjelasan, karena penjelasan undang-undang bukan dianggap sebagai bagian undang-undang tetapi hanya sebagai ‘keterangan’ yang tidak boleh memuat norma atau hukum lagi.
UUM tidak hanya telah tidak cermat disusun dan diumumkan dengan tetap mencantumkan kata ‘rancangan’ meski telah disetujui Presiden. Muatan pada UUM itu juga telah dimanfaatkan oleh ‘oknum panitera’ pengadilan niaga yang diduga melakukan ‘pemerasan’ terhadap para pencari keadilan di bidang merek yang mengajukan permohonan kasasi tanpa ada pengawasan dari MA.
Oknum itu mengatakan jangka waktu permohonan kasasi berdasarkan hari kalender, bukan hari kerja yang jumlah harinya akan lebih banyak atau lebih lama karena Sabtu, Minggu, dan/atau hari libur nasional tidak dihitung.
Padahal Pasal 1 angka 22 UUM pada, Ketentuan Umum tentang Hari adalah Hari Kerja, dan pada Rancangan UUM tercantum cukup jelas. Entah siapa yang mengubah, dan mencantumkan pada “Rancangan Penjelasan UUM” pada Pasal 85, dan Pasal 88 ditulis menjadi “Hari Kalender?”
Kontradiksi lain pada UUM ini adalah Pasal 100 ayat (3) yang mengatur sanksi pidana merek yang mengakibatkan gangguan kesehatan, lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia dengan sanksi pidana paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp5 miliar.
Sanksi pidana itu tidak relevan diatur dalam UUM, karena UUM hanya memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang menggunakan merek palsu yang sama atau serupa secara tanpa hak dari pemilik merek sebenarnya. Selain itu, karena UUM dianggap bagian dari hukum privat atau hukum perdata maka sanksi pidananya pun bersifat delik aduan, sedangkan UU Kesehatan No. 36/2009, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32/2009, dan KUH Pidana merupakan hukum publik, dan sanksi pidananya bersifat delik biasa.
UU Kesehatan No. 36/2009 dengan sanksi pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar, dan sanksi pidana yang diatur pada UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32/2009 adalah dengan sanksi pidana paling singkat empat tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp4 milar dan paling banyak Rp12 miliar apabila perbuatan itu mengakibatkan orang luka dan/atau berbahaya bagi kesehatan manusia (Pasal 98 ayat ).
Sedangkan sanksi pidana yang menimbulkan kematian telah diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan sanksi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun apabila kematian itu karena pembunuhan berencana.
Sanksi Pidana
Dengan memperhatikan hal-hal di atas, UUM tidak perlu mengatur sanksi pidana di luar kewenangannya, yang mengakibatkan timbul kontradiksi dan tidak berdaya guna.
Disatu sisi menteri melakukan tugas teknis melakukan pengumuman permohonan merek (Pasal 15 ayat UUM), mengangkat para pemeriksa merek, dan anggota Komisi Banding Merek (Pasal 33 ayat ). Namun di sisi lain mereka juga memerintahkan menteri untuk mendaftarkan merek (Pasal 24 ayat juncto Pasal 30 ayat UUM) atau membatalkan merek.
Padahal fungsi menteri seharusnya pembuat kebijakan sebagai pembantu presiden dan bukan diperintah oleh para pemeriksa merek, dan/atau Komisi Banding Merek yang merupakan aparat bawahannya.
Meski Pasal 23 ayat (5) UUM mengatur bahwa pemeriksaan permohonan merek diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 150 hari, dan Pasal 30 ayat (1) UUM mengatur bahwa Komisi Banding Merek akan memutuskan permohonan banding dalam waktu tiga bulan, tetapi pelaksanaan pasal itu diharapkan, karena faktor sumber daya manusia para pemeriksa merek, komisioner dan infrastruktur yang belum memadai.
Hal-hal di atas baru sebagian saja dari UUM yang terlihat nyata tidak selaras dengan yang disyaratkan oleh UU No. 12/2011, bahkan bertentangan dengan undang-undang yang disebutkan di atas. Alhasil, UUM patut dinyatakan tidak sah, atau segera kembali direvisi.