Bisnis.com, JAKARTA -- Pembagian sertifikat tanah yang selama ini sudah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dinilai belum merepresentasikan reformasi agraria di Indonesia.
Hal tersebut dikemukakan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika dalam pembukaan Rembuk Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial untuk Keadilan Sosial dan Global Land Forum 2018 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (20/9/2018).
"Bapak Jokowi, sertifikasi tanah saja tidak cukup. Kami menantikan reforma agraria," katanya.
Dewi, yang juga Ketua Panitia Global Land Forum 2018, juga mendesak Presiden Jokowi untuk segera menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) mengenai percepatan reforma agraria di Indonesia. Beledi tersebut diminta berisi mekanisme yang pasti untuk mengurangi konflik lahan tanpa melalui kriminalisasi atau tindakan represif kepada masyarakat.
Melalui Perpres itu, KPA turut mendorong perbaikan struktur penguasaan tanah yang timpang menjadi lebih berkeadilan, menyejahterakan, dan berbasis kerakyatan.
KPA menilai hingga kini, konflik agraria di lapangan belum tersentuh agenda reforma agraria yang dicanangkan oleh pemerintah. Dewi mencatat ada 758 konflik agraria sepanjang 2017.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Jokowi menyebutkan ada 126 juta bidang tanah yang harus disertifikasi di Indonesia. Namun, per 2015 baru ada 46 juta bidang tanah yang sudah tersertifikasi.
Dia menyatakan sebelumnya pemerintah hanya mampu mengeluarkan 500.000-600.000 sertifikat setiap tahunnya. Jika penerbitan sertifikat bisa dipercepat, Jokowi meyakini masyarakat bisa memiliki status hukum atas tanah yang dikelolanya sehingga mengurangi konflik lahan di Indonesia.
Dia juga berjanji Perpres tentang reforma agraria bakal segera diterbitkan.
Pada 2017, pemerintah menerbitkan sekitar 5 juta sertifikat tanah. Tahun ini, jumlahnya ditargetkan mencapai 7 juta sertifikat dan naik menjadi 9 juta sertifikat pada 2019.