Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan melakukan penjadwalan ulang terhadap Direktur Perencanaan Korporat PLN Syofvi Felienti Roekman, yang hari ini diagendakan hadir sebagai saksi kasus dugaan suap kerja sama kontrak proyek PLTU Riau-1 untuk tersangka Johannes Budisutrisno Kotjo.
"Syofvi Felienty Roekman, Direktur Perencanaan Korporat PLN, yang bersangkutan belum menerima panggilan sehingga penyidik akan menjadwal ulang pemeriksaannya," ujar Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi Yuyuk Andriati di gedung KPK di Jakarta, Senin (10/9/2018).
Selain Syofvi, Direktur PT Isargas Iswan Ibrahim turut tidak hadir dalam pemeriksaan saksi kasus PLTU Riau-1.
Iswan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Idrus Marham.
"Sampai saat ini belum ada infomasi kenapa beliau tidak memenuhi panggilan," ucap Yuyuk terkait dengan ketidakhadiran Iswan Ibrahim.
Diberitakan sebelumnya, hari ini KPK telah melakukan pelimpahan berkas dan tersangka Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham di BlackGold Natural Resources Ltd.
Baca Juga
"Ini tahap dua, jadi masuk tahap penuntutan," jelas Yuyuk.
Hingga saat ini, lanjutnya, terdapat sekitar 40 saksi yang diperiksa terkait kasus PLTU Riau-1.
Sidang rencananya akan dilaksanakan di PN Tipikor Jakarta Pusat.
KPK sudah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus ini, yakni Eni Maulani Saragih dari Komisi VII DPR RI, Johannes Budisutrisno Kotjo, selaku pemegang saham di BlackGold Natural Resources Ltd, dan Idrus Marham, Menteri Sosial RI yang selama ini diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Jenderal Partai Golkar.
Sejumlah pihak telah diperiksa untuk kasus ini, yakni perusahaan dan anak perusahaan BUMN, perusahaan asing yang masih menjadi bagian atau mengetahui skema kerjasama PLTU Riau 1, Kepala Daerah, dan tenaga ahli.
KPK masih menggali proses persetujuan atau proses sampai dengan rencana penandatanganan kerja sama dalam proyek PLTU Riau-1.
Skema kerja sama dalam kasus PLTU Riau-1 juga menjadi fokus KPK.
Sebagai pihak yang diduga penerima, Eni Saragih dan Idrus Marham disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, sebagai pihak yang diduga pemberi, Johanes Budisutrisno disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.