Bisnis.com, JAKARTA – Bahasa bukan segalanya, tetapi tanpa bahasa kita bukan siapa-siapa. Memiliki keterampilan bahasa asing menjadi nilai tambah. Sayangnya, mereka yang ingin belajar bahasa terbentur dengan waktu dan biaya.
Melihat permasalahan ini, Erlangga Greschinov, alumnus Universitas Telkom Bandung, terketuk hatinya. Ketika masih mahasiswa, dia berinisiatif membentuk komunitas bahasa nonprofit bernama Faktabahasa atau yang biasa disebut Faba pada 2013.
Faba yang telah berusia 5 tahun itu kini memiliki 17 cabang dari Medan hingga Makassar. Di komunitas ini, seseorang bisa mempelajari berbagai bahasa asing seperti bahasa Inggris, Prancis, Jepang, Korea, Jerman, Arab, dan Mandarin.
Biaya pendaftarannya juga terbilang murah, seseorang hanya membayar Rp40.000 per 3 bulan atau Rp2.000 per pertemuan tergantung pada kesepakatan masing-masing peserta kursus dengan mentornya.
Uang tersebut digunakan untuk kebutuhan operasional kursus seperti membeli papan tulis dan spidol serta mengadakan acara di luar.
Erlangga menerangkan Faba diprioritaskan bagi mereka siswa sekolah menengah pertama dan atas. Meski begitu, tidak berarti anak kuliahan dilarang bergabung.
"Kami ingin mengakomodasi mereka yang ingin belajar bahasa, tetapi tidak memiliki biaya ataupun waktu yang cukup," kata Erlangga kepada Bisnis.com.
Dia menjelaskan saat ini jumlah peserta Faba mencapai 2.000 orang, sedangkan pengajar yang terlibat sekitar 300 orang.
Faba menggelar proses belajar mengajar di lingkungan kampus. Faba Depok misalnya, sering menggunakan perpustakaan Universitas Indonesia sebagai tempat berbagi ilmu antara pengajar dan peserta.
Tidak hanya di perpustakaan, beberapa fasilitas lainnya seperti di taman dan masjid juga biasa dijadikan tempat untuk berbagi ilmu.
Erlangga menuturkan tidak ada pedoman khusus dalam menyampaikan materi. Waktu dan materi kursus yang disampaikan kepada peserta diserahkan sepenuhnya kepada para mentor.
"Faba menyasar akar rumput yang memiliki kesibukan berbeda-beda. Sistem pengajarannya kekeluargaan, disesuaikan dengan waktu para peserta dan mentor," ujarnya.
Para mentor yang direkrut Faba adalah mayoritas remaja yang pernah merasakan pendidikan di luar negeri atau pernah mengikuti kursus bahasa.
Materi pelatihan dikemas secara menarik dalam bentuk percakapan dan latihan menulis agar pengikut kursus tidak bosan.
Erlangga menjelaskan Faba sengaja tidak merekrut pengajar ahli. Menurut Erlangga, pengajar ahli cenderung berorientasi pada keuntungan, sedangkan yang berusia muda atau remaja masih idealis.
Para mentor muda tulus mengajar peserta, tanpa upah sedikit pun. "Mentor-mentor yang terlibat di Faba karena panggilan hati. Mereka ingin memberikan ilmu yang mereka punya," kata Erlangga.