Bisnis.com, JAKARTA -- Korea Utara menyatakan pembicaraan denuklirisasi dengan AS bisa berantakan jika AS tetap memaksa denuklirisasi sepihak.
Hal ini dilaporkan kantor berita Korea Utara (Korut), KCNA, usai pembicaraan antara Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan perwakilan Korut di Pyongyang pada 6-7 Juni 2018.
KCNA mengatakan hasil pembicaraan dengan Pompeo sangat meresahkan, di mana Pompeo disebut memaksa dilakukannya denuklirisasi menyeluruh, terverifikasi, dan tidak bisa diubah.
Seperti dilansir Reuters, Sabtu (7/7/2018), KCNA yang mengutip seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Korut melaporkan cara tercepat untuk membersihkan Semenanjung Korea dari nuklir adalah dengan menyiapkan sejumlah tahapan.
Dengan tahapan-tahapan yang terukur dan dilakukan bersamaan oleh AS dan Korut, maka denuklirisasi baru bisa tercapai.
Laporan tersebut berbanding terbalik dengan pernyataan Pompeo. Dia mengklaim kedua pihak sudah mencapai progres di hampir semua isu penting, termasuk menetapkan timeline denuklirisasi.
Meski demikian, Pompeo mengakui masih banyak yang harus dikerjakan.
Dia mengungkapkan kedua negara sepakat untuk membicarakan pengembalian jenazah para tentara AS yang terbunuh dalam Perang Korea pada 1950-1953 pada 12 Juli 2018.
"Saya rasa kami mencapai progres di semua elemen yang dibicarakan," tutur Pompeo.
Setelah pembicaraan tersebut, termasuk dengan pejabat tinggi dan mantan kepala badan spionase Korut Kim Yong Chol, Pompeo langsung berangkat ke Tokyo untuk bertemu dengan perwakilan Korea Selatan (Korsel) dan Jepang--dua sekutu AS.
Sikap Korut menunjukkan mereka tak ingin bernasib seperti Libya. Pada awal 2000, sebelum rezim Muammar Khadafi tumbang, negara Afrika Utara itu meneken perjanjian nuklir damai dengan AS.
Ketika itu, Khadafi setuju untuk menghancurkan program pengembangan nuklirnya sesuai dengan permintaan AS.
Meski langkah itu menuai pujian dari negara-negara Barat, tapi negara-negara Arab justru mengritiknya. Pasalnya, langkah tersebut dinilai terburu-buru dan malah akan melemahkan posisi negara-negara Arab terutama menghadapi Israel yang juga memiliki nuklir.
Khadafi disebut sempat menahan sebagian bahan baku pengembangan nuklirnya untuk dijadikan kekuatan tawar dengan negara-negara Barat, termasuk AS. Hal ini juga dimanfaatkannya sebagai posisi tawar ketika NATO melakukan intervensi militer di negara itu pada 2011.