Bisnis.com, JAKARTA – Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah mengusulkan pelucutan sejumlah kewenangan kepala daerah terkait penempatan birokrasi guna memastikan netralitas aparatur sipil negara atau ASN dalam politik praktis pemilihan kepala daerah.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng mengatakan saat ini kepala daerah berkedudukan sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK) tingkat daerah.
Alhasil, kepala daerah berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian ASN di pemerintahannya.
Celakanya, Endi mengamati selama ini kewenangan tersebut kerap disalahgunakan oleh gubernur, bupati, atau wali kota saat mereposisi ASN. Tak jarang, menurut dia, alih-alih berbasis kinerja, pengisian jabatan lebih didasarkan faktor kedekatan atau balas jasa kepala daerah dengan ASN yang mendukungnya.
“Kami menyarankan kedudukan kepala daerah sebagai PPK ini dievaluasi bahkan ditinjau ulang,” katanya dalam acara temu media di Jakarta, Minggu (24/6/2018).
Ketimbang dipegang kepala daerah, Endi mengusulkan kedudukan PPK diserahkan kepada sekretaris daerah sebagai pejabat ASN tertinggi di pemerintahan daerah. Konsep ini sebenarnya diadopsi UU No. 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, tetapi diganti dengan pemberlakuan UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Baca Juga
“Jadi kembali ke UU Kepegawaian lama. Dengan ini, politik terpisah dari birokrasi. Kepala daerah tak lagi punya kewenangan intervensi birokrasi,” tuturnya.
Dengan kedudukan sebagai PPK pula kepala daerah kerap mengabaikan rekomendasi pelanggaran kode etik dan disiplin dari Komisi Aparatur Sipil Negara. Rekomendasi tidak dijalankan bila kepala daerah petahana yang diuntungkan oleh keberpihakan ASN kembali memenangkan pilkada.
Selain meninjau ulang kedudukan PPK, KPPOD juga mengusulkan agar kewenangan kepala daerah menunjuk kepala inspektorat dicabut.
Endi menilai selama ini peran deteksi dini ASN yang semestinya dijalankan oleh inspektorat tidak berjalan maksimal.
Pasalnya, hierarki inspektorat berada di bawah kepala daerah. Konsekuensinya, setiap indikasi pelanggaran netralitas ASN, terutama bila memihak kepala daerah petahana, tidak berani diendus.
“Kami mengusulkan agar posisinya satu tingkat di atas. Jadi untuk mengawasi ASN di kabupaten, inspektorat berada di pemerintahan provinsi,” ujarnya.
Pelucutan kedudukan kepala daerah sebagai PPK dan menunjuk kepala inspektorat menjadi tawaran KPPOD untuk menekan fenomena pelanggaran netralitas ASN dalam politik praktis, terutama saat gelaran pilkada.
KPPOD menangkap fenomena itu setidaknya di lima provinsi yang menggelar pilkada pada tahun ini yakni Sumatra Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Kelima daerah itu dipilih mengingat terdapat calon gubernur dan wakil gubernur berstatus petahana atau memiliki hubungan kekerabatan dengan incumbent.
“Hampir semua daerah dipastikan tak netral. Tapi kami hanya mampu meneliti di lima wilayah ini,” tutur Endi.
Peneliti KPPOD Aisyah Nurul Jannah mengatakan tim peneliti menemukan fakta bahwa ASN di lima daerah itu menghadapi posisi dilematis. Di satu sisi, ASN menyadari bahwa terdapat ketentuan ketat ihwal netralitas posisi mereka. Pada sisi lain, mereka mengetahui peran krusial kepala daerah dalam penempatan jabatan.
“Jadinya mereka takut kalau tidak mendukung, khususnya calon petahana, nanti di-nonjob-kan,” ujarnya.