4. Pemidanaan
Pemidanaan terhadap tindakan demikian dinilai penting mengingat, misalnya, kini banyak orang Indonesia yang pulang dari Suriah dan diduga mereka simpatisan dan pendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Sejumlah temuan aparat keamanan terhadap teror beberapa waktu terakhir menunjuk pelakunya terlibat NIIS. Aparat hukum memerlukan payung hukum agar bisa menangkap mereka.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tercatat sedikitnya 150-an orang Indonesia yang kembali dari Suriah –mereka diduga terlibat dalam NIIS sepanjang 2014-2015.
Dalam kaitan itu pula RUU ini kemudian menetapkan jangka waktu penahanan seseorang. Jika sebelumnya UU No. 15/2003 mengatur masa penahanan seseorang maksimal 7x24 jam, dalam RUU ini aparat bisa menahan orang sampai 30 hari. Selain itu, mereka yang terbukti, misalnya, mengikuti pelatihan terorisme di luar negeri, paspornya bisa dicabut.
Penambahan masa tahanan inilah yang menjadi sorotan para aktivis HAM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil. Menurut Koalisi panjangnya kewenangan penangkapan adalah melanggar prinsip-prinsip HAM, termasuk konvensi internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICEAFRD).
Koalisi juga menyoroti sejumlah pasal lain yang dinilai melanggar HAM, seperti pencabutan kewarganegaraan mereka yang mengikuti pelatihan tindak pidana terorisme dan konsep deradikalisasi yang memberi wewenang aparat hukum menempatkan seseorang di satu tempat selama enam bulan. Koalisi menilai RUU Antiterorisme ini tidak membahas secara jelas bentuk pertangungjawaban aparat dalam melakukan operasi pemberantasan terorisme.
Koalisi menunjuk sejumlah fakta kerap terjadinya salah tangkap terhadap seseorang yang diduga pelaku terorisme. Ini, misalnya, seperti yang menimpa Siswoyo di Jawa Tengah. Koalisi juga menunjuk catatan Komnas HAM yang menghitung ada sekitar 210 orang yang diduga melakukan terorisme tewas tanpa menjalani proses peradilan terlebih dahulu.
Dalam kerangka hak asasi manusia, menurut peneliti pada Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, tindakan demikian masuk kategori extrajudicial killing atau pembunuhan yang dilakukan di luar sistem hukum.
Atas kritik itu, Ketua Panitia Khusus RUU Antiterorisme, Muhammad Syafi’i menyatakan pihaknya menerima semua masukan itu. Menurut dia, prinsipnya, RUU tidak membuka celah terjadinya pelanggaran HAM