Bisnis.com, JAKARTA - Aksi peledakan bom yang terjadi di Surabaya memunculkan fenomena baru, jika selama ini pelaku adalah kaum pria, saksi pada kasus di Surabaya justru menyebutkan ada perempuan bercadar sebelum terjadi ledakan.
Seperti diberitakan sebelumnya, aksi pengeboman gereja Surabaya, Minggu (13/5/2018) tidak hanya terjadi di Gereja St Maria Ngagel tetapi juga sejumlah gereja lainnya yakni di GKI Diponegoro dan gereja di Jl. Arjuno.
Bahkan menurut polisi GKI Diponegoro masih ada bom aktif. Sehingga petugas harus menutup area sejauh 1 km dan melarang untuk mendekat. Saat ini tim kepolisian sedang menuju lokasi untuk menjinakkan bom yang masih aktif.
Sementara salah seorang saksi di GKI Diponegoro, Tardianto, peledakan bom terjadi sekitar pukul 07.30. Ada 2 kali ledakan, pertama jam 7.30 dan 5 menit kemudian meledak mengenai satpam.
Ia juga menyebutkan, sebelumnya ada 3 orang perempuan bercadar. Satu orang dewasa dan 2 anak-anak perempuan bercada (1 anak kecil, 1 lagi anak remaja). Saat mereka masuk ke area parkiran, satpam sempat menanyai ketiga orang tersebut.
"Saya waktu itu duduk di dekat parkiran, ada teman saya di situ, setelah dicek satpam enggak lama kemudia langsung meledak pertama," ungkapnya.
Baca Juga
Dampak Framing Ideologis
Pengamat politik Pusat Kajian Komunikasi dan Keindonesiaan Fahlesa Munabari menyebutkan apa yang terjadi pada kasus ini menunjukkan kuatnya ideologi yang tertanam pada para pelaku.
"Nilai-nilai ideologis itu membuat mereka tak ragu melakukan apa pun, karena mereka memahaminya ada janji surga, bidadari dan lain-lain," ujarnya.
Pelibatan perempuan dan anak-anak dalam aksi peledakan, misanya, menunjukkan dampak dari strategi framing secara ideologis yang disebarkan pihak-pihak perencana teror. Masalah gender, ekonomi, dan lain-lain bagi calon pelaku kemudian tidak lagi menjadi pertimbangan. "Jadi bukan karena miskin kemudian mereka menjadi pelaku teror, yang ada di benak mereka adalah ideologi dan ujanji surga yang diyakininya."
Framing politik seperti itu, ujar Dekan FISIP Universitas Budi Luhur, yang membuat kelompok pelaku teror bisa laki-laki atau perempuan bahkan anak-anak.
Dia menyebutkan hal yang mirip dilakukan kelompok Abu Sayyaf di Filipina. "Mereka tadinya kan perompak, tapi karena mendapat sentuhan ideologis kemudian menjadi mendapat tambahan suntikan nilai."
Dalam konteks framing atau label ini, kelompok pelaku teror akan menganggap orang yang di luar kelompoknya sebagai musuh. Apalagi dengan munculnya frame Thogut yang terus melebar siapa pun bisa dianggap Thogut atau pendukung Thogut.
"Kalau dulu mereka menganggap orang asing sebagai Thogut, kemudian berkembang menjadi ke mana-mana, Polisi di-frame sebagai Thogut, pemerintah juga, sesama orang berwarna kulit sawo matang pun dianggap Thogut," ujarnya.
Terkait ledakan yang terjadi di Surabaya, Fahlesa menduga ada faktor simpati dan balas dendam atas apa yang terjadi di rutan cabang Salemba atau sebelumnya lebih diberitakan sebagai rutan mako brimob.
Kelompok Pelaku
Terkait siapa kelompok yang mungkin menjadi pelaku, Fahlesa menyebut salah satu yang mungkin terkait adalah kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
"Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa pelakunya berasal dari jaringan lain atau individu-individu yang tidak terkait jaringan tapi sudah terpengaruh ideologi ISIS yang pola penyebaran ideologinya menggunakan jejaring media sosial dan melakukan perekrutan secara sporadis," tambah Fahlesa.
Penyebutan JAD oleh Fahlesa didasarkan pada indikasi bahwa kelompok ini masih ada, punya relawan dan simpatisan, memiliki kemampuan merakit bom serta, yang tak bisa dilupakan, mereka yang berada di rutan di Kompleks Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, tempo hari adalah para pendukung ISIS.
Selain itu, ia menyebut soal komunikasi yang mungkin terjadi melalui media sosial, cara yang selama ini disinyalir dilakukan ISIS dan mereka yang dipengaruhinya.
"Jadi benang merahnya kalau melihat kejadian di Mako Brimob, maka kita bisa melihat adanya pola hubungan antara kejadian itu dengan di Surabaya, itu sebabnya saya melihat ini ada motif simpati dan balas dendam," ujarnya.
JAD sendiri, oleh pihak Kepolisian disebutkan sebagai salah satu pendukung ISIS.
Di sisi lain, Fahlesa tidak sependapat andai ada yang mengatakan kasus yang terjadi sebagai setting atau pengalihan isu.
"Ongkosnya terlalu besar jika ini semua dalah settingan, terlebih di saat pemerintah dekat dengan kelompok Islam," ujarnya.