Bisnis.com, JAKARTA — Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Panut Mulyono memaparkan kelemahan riset ilmiah di Indonesia dibandingkan dengan di negara-negara dengan tingkat pendidikan yang lebih maju.
Hal itu terkait rencana masuknya lebih banyak dosen asing ke Indonesia pasca keluarnya Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing akhir Maret lalu.
Panut menyebut, dosen asing harus menjadi katalisator dalam kemajuan dunia pendidikan Indonesia termasuk dalam hal riset akademik dan ilmiah. Dia mengatakan, penelitian yang bagus itu adalah yang terstruktur dengan baik.
“Jadi seorang profesor itu mempunyai roadmap penelitian yang sudah terencana. Kebanyakan kalau di luar negeri, industri sudah masuk sejak awal. Saya misalnya, sebagai seorang profesor bekerja sama dengan sebuah industri yang industri itu mempunyai perencanaan bahwa produk saya mau seperti apa,” katanya sesaat setelah menemui Wakil Presiden di kantornya, Kamis (12/4/2018).
Kemudian, lanjut dia, riset tersebut harus dilakukan berkesinambungan dengan pelaksana riset itu para mahasiswa.
“Mahasiswa S2—S3 itu berlanjut. Jadi misalnya seorang S3, 3 tahun tidak mungkin menyelesaikan riset itu. Terus nanti mahasiswa yang baru melanjutkan sehingga risetnya arahnya jelas dan kualitasnya bagus,” terang dia.
Sehingga, riset yang dilakukan sesuai kebutuhan industri dan siap pakai.
“Makanya kita sejak dulu mendengungkan link and match. Kerja sama dengan perguruan tinggi, akademisi, industri, pemerintah, masyarakat. Tapi kan kenyataannya masih sulit untuk industri bisa masuk sejak awal ke kampus,” imbuh dia.
Sehingga secara kualitas nanti arah riset tersebut memiliki hasil dan dampak. Hal itu yang menjadikan sebuah riset mengalami peningkatan kualitas.
“Artinya kita harus menghasilkan penelitian berkualitas dan mempunyai impact ke masyarakat terutama industri dan masyarakat yang bisa mengambil hasil penelitian kita. Kalau [riset] sosial ya untuk penentuan kebijakan pemerintah di dalam mengatur negara ini.”