Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Badan Usaha Milik Negara memastikan proses privatisasi saham anak usaha perusahaan holding pelat merah tetap melalui restu Dewan Perwakilan Rakyat.
Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Kementerian BUMN Hambra Samal menegaskan kebijakan holding perusahaan pelat merah tidak serta-merta memangkas mekanisme privatisasi BUMN. Bekas BUMN yang berstatus perseroan terbatas lantaran telah menjadi anak usaha holding akan tetap diperlakukan sebagai perusahaan milik negara.
Pasalnya, kata Hambra, pemerintah masih memiliki saham seri A dwiwarna atas anak usaha holding tersebut. Dengan eksistensi saham seri A dwiwarna, berbagai keputusan strategis seperti privatisasi anak usaha harus seizin Kementerian BUMN untuk kemudian dimintakan persetujuan DPR sebagai pemutus terakhir.
“Jadi tidak beralasan kekhawatiran holding BUMN akan memudahkan privatisasi,” katanya usai sidang uji materi UU No. 19/2003 tentang BUMN di Jakarta, Selasa (10/4/2018).
Pemerintah kali pertama membentuk holding BUMN bidang semen, disusul bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan migas. Sasaran berikutnya adalah BUMN bidang jasa keuangan, perumahan, jalan tol, dan pangan.
Hambra memastikan pemerintah tetap menggenggam saham seri A dwiwarna atas semua anak usaha holding. Tidak hanya itu, Kementerian BUMN juga berniat mengatur ulang struktur permodalan bekas perusahaan perseroan yang belum menampung saham seri A dwiwarna.
“Tidak semua anak usaha holding lama ada saham seri A-nya. Sebenarnya dalam konteks korporasi pun tidak perlu ada saham seri A dwiwarna. Kami cuma ingin negara tetap ada kontrol,” ujarnya.
Dalam rangka mewujudkan holding, pemerintah menerbitkan PP No. 72/2016 tentang Perubahan atas PP No. 44/2005 tentang Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perserotan Terbatas.
Payung hukum tersebut sesuai dengan Pasal 4 Ayat 4 UU BUMN yang mengamanatkan perubahan penyertaan modal negara dalam rangka restrukturisasi perusahaan pelat merah ditetapkan dengan peraturan pemerintah atau PP.
Namun, frasa ‘ditetapkan dengan PP’ dianggap inkonstitusional oleh Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) Kiki Syahnakri. Bersama Putut Prabantoro, mantan Wakil Kepala Staf TNI AD tersebut menggugat Pasal 4 Ayat 4 UU BUMN. Selain itu, mereka memohonkan pengujian Pasal 2 Ayat 1 huruf a dan b yang menjelaskan fungsi BUMN sebagai pemberi sumbangan penerimaan negara dan pengejar keuntungan.
Penggugat menganggap BUMN semula ditujukan untuk kemanfaatan umum. Dalam konteks tersebut, pengaturan penyertaan modal negara (PMN) disediakan guna memperbaiki struktur permodalan dan peningkatan kapasitas usaha BUMN.
Namun, pemohon menilai orientasi tersebut berubah setelah terbitnya PP No. 72/2016 yang memungkinkan PMN tidak melalui mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Dengan demikian, peran DPR sebagai representasi kedulatan rakyat ditiadakan. Lagipula, Kiki dan Albertus mengklaim pembentukan holding yang tidak hati-hati justru membuat induk usaha merugi.
Penggugat menilai holding hanya kedok privatisasi model baru karena perusahaan perseroan berubah menjadi anak usaha BUMN. Sebagai perseroan terbatas, pengawasan oleh penyelenggara negara menjadi berkurang.
Kecemasan terhadap kebijakan holding BUMN dan PP 72/2016 juga menggiring Serikat Pegawai PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menggugat UU BUMN ke MK.
Bedanya, mereka menggugat Pasal 14 Ayat 3 huruf a, huruf b, huruf huruf d, huruf g, dan huruf h UU BUMN yang a.l. mengatur kewenangan Kementerian BUMN terkait peleburan dan penggabungan perusahan pelat merah.
Perkara Kiki dan Putut Prabantoro teregistrasi No. 14/PUU-XVI/2018 sementara permohonan Serikat Pekerja PLN No. 12/PUU-XVI/2018. Persidangan kedua perkara itu dilakukan dalam waktu hampir berdekatan.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menilai dua perkara tersebut sama-sama mencemaskan restrukturisasi lewat skema holding bisa mengarah pada privatisasi BUMN. Karena itu, dia meminta pemerintah memberikan penjelasan komprehensif bahwa holding bukan bertujuan menjual saham korporasi yang tadinya berstatus perusahaan perseroan.