Kabar24.com, JAKARTA - Amerika Serikat (AS) pada Jumat (6/4/2018) mengeluarkan sanksi terhadap sejumlah pengusaha, perusahaan dan pejabat Rusia atas yang disebut AS sebagai "kegiatan memburuk-burukkan", termasuk dugaan mencampuri Pemilihan Presiden AS pada 2016.
Serangkaian sanksi itu dikenakan terhadap orang dekat Presiden Rusia Vladimir Putin dan menjadi salah satu langkah paling garang, yang diambil Washington untuk menghukum Moskow.
Berdasarkan atas keputusan sanksi itu, harta "para orang berkuasa" Rusia di AS dibekukan, seperti yang dimiliki konglomerat aluminium Oleg Deripaska dan anggota parlemen Suleiman Kerimov.
Keluarga Suleiman Kerimov mengendalikan perusahaan terbesar produksi emas Rusia, Polyus.
Sanksi itu, yang dikeluarkan Departemen Keuangan terhadap tujuh sosok dan 12 perusahaan Rusia serta 17 pejabat tinggi Rusia, tampaknya akan menyulitkan harapan Presiden AS Donald Trump untuk membangun hubungan baik dengan Putin.
Menteri Keuangan AS mengatakan dalam pernyataan bahwa Moskow "melakukan serangkaian kegiatan yang memburuk-burukkan di seluruh dunia, termasuk dengan terus menduduki Krimea dan menghasut kekerasan di Ukraina timur, menyuplai kepada pemerintahan Assad bahan-bahan dan persenjataan pada saat rezim itu mengebomi para warga sipilnya, berupaya menumbangkan demokrasi Barat serta melancarkan kegiatan jahat di dunia maya".
Baca Juga
Anggota Rusia Konstantin Kosachev, Ketua Komite Hubungan Internasional Majelis Permusyawaratan Rakyat Rusia, mengatakan sanksi-sanksi itu tidak berdasar dan tidak bersahabat, menurut laporan kantor berita Interfax.
Sanksi tersebut kemungkinan berpeluang mengganggu perekonomian Rusia, terutama pada sektor keuangan dan energi, juga merupakan bagian dari upaya Washington untuk membuat Rusia mempertanggungjawabkan dugaan mencampuri pemilihan. Tuduhan itu dibantah Moskow.
Perusahaan negara Rusia, yang dikenai sanksi Amerika Serikat, akan mendapat tambahan bantuan dari pemerintah, kata Interfax, yang mengutip Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rusia Denis Manturov.
Badan intelijen AS mengatakan Rusia menggunakan peretasan dan propaganda, yang pada akhirnya ditujukan untuk menguntungkan Trump dalam menghadapi persaingan dengan calon presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton.
Penyidik Khusus AS Robert Mueller menyelidiki kemungkinan bahwa tim kampanye Trump bersekongkol dengan Rusia dalam pemilihan presiden pada 2016. Tuduhan itu dibantah oleh Trump.