Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump melanjutkan perang di Twitter-nya dengan Amazon pada hari Sabtu, (31/3/2018), menyebut raksasa e-commerce sebagai "penipu" yang merugikan kantor pos "miliaran."
Dilansir CNBC, kicauan tersebut muncul setelah tweet pada Kamis yang mengatakan perusahaan yang didirikan oleh Jeff Bezos tersebut tidak membayar pajak yang sesuai kepada pemerintah negara bagian dan lokal.
Ini bukan pertama kalinya Trump mengincar Amazon. Pada bulan Agustus 2017, Trump juga mengatakan di akun Twitternya bahwa Amazon menyebabkan kerugian besar pada pengecer yang membayar pajak. “Kota dan negara bagian di seluruh AS sedang dirugikan, banyak pekerjaan hilang!" ungkapnya kala itu.
Klaim Trump mengenai efek kemampuan Amazon untuk menghindari pajak penjualan mungkin sebagian besar benar. Namun, perluasan persyaratan pengumpulan pajak penjualan ke peritel online tidak akan merugikan, namun justru menguntungkan Amazon.
Awalnya, Amazon umumnya tidak menarik pajak penjualan pada penjual karena tidak memiliki toko fisik di sebagian besar negara bagian. Ini memberikan Amazon keunggulan harga dibandingkan peritel tradisional dan berkontribusi terhadap pertumbuhannya serta kegagalan beberapa peritel lainnya.
Penurunan pendapatan pajak penjualan negara dari penjual online yang diperkirakan mencapai US$26 miliar per tahun, mungkin telah menyebabkan negara bagian menghilangkan pembebasan pajak dan meningkatkan pajak lainnya.
Namun, perluasan persyaratan pajak penjualan melalui undang-undang federal yang harus menunggu keputusan Mahkamah Agung, atau perubahan undang-undang negara bagian kemungkinan tidak akan membahayakan Amazon, tetapi sebaliknya lebih meningkatkan posisi kompetitifnya.
Karena jaringan distribusi yang diperluas untuk memastikan pengiriman cepat, Amazon memiliki kehadiran fisik di banyak negara bagian dan kewajiban untuk membayar pajak penjualan. Amazon saat ini mengumpulkan dan mengembalikan pajak penjualan untuk penjualan yang dilakukan langsung oleh Amazon, dibandingkan dengan penjual pihak ketiganya, ke seluruh 45 negara bagian dengan pajak penjualan di seluruh negara bagian.
Amazon mendukung Marketplace Fairness Act yang mengharuskan penjual jarak jauh untuk mengumpulkan pajak penjualan.
Mahkamah Agung AS sedang mempertimbangkan kasus South Dakota v. Wayfair Inc. Kasus ini mengkaji konstitusionalitas undang-undang South Dakota yang memaksakan suatu standar hubungan ekonomi yang memberikan hak untuk memberlakukan persyaratan pengumpulan pajak penjualan pada penjual jarak jauh.
Berdasarkan aturan tersebut, pajak penjualan dikenakan jika penjual memiliki penjualan dalam negara bagian yang melebihi US$100.000 atau lebih dari 199 transaksi kepada penduduk negara bagian tersebut.
Keputusan oleh Mahkamah Agung yang mendukung hubungan ekonomi akan memungkinkan negara bagian untuk mengenakan pajak penjualan pada penjual yang tidak memiliki toko fisik, termasuk penjual pihak ketiga Amazon.
Jika Mahkamah Agung tidak mengizinkan standar perhubungan ekonomi, dengan demikian kembali ke standar kehadiran fisik, negara bagian kemungkinan akan terus menerapkan undang-undang pemberitahuan dan laporan, seperti yang baru-baru ini diberlakukan di Rhode Island.
Aturan semacam itu kemungkinan akan membuat lebih banyak peritel secara sukarela mengumpulkan dan membayar pajak penjualan.
Terlepas dari hasil kasus Wayfair, akan ada lebih banyak peritel online yang akan mengumpulkan pajak penjualan pada penjual pihak ketiga dan ini menguntungkan Amazon. Mengingat banyaknya yurisdiksi, berbagai tarif pajak, dan perbedaan definisi item yang dikenakan pajak, biaya kepatuhan pajak penjualan dapat sangat besar.
Amazon menawarkan kepada penjual pihak ketiga layanan pengambilan pajak penjualan opsional dengan biaya 2,9% (berdasarkan pajak penjualan yang dikumpulkan). Setiap ada penjual pihak ketiga yang membeli layanan pajak penjualan tersebut, Amazon akan diuntungkan.