Kabar24.com, JAKARTA - Probosutedjo adalah pribadi penuh warna. Selain dikenal sebagai mantan guru, menjadi pengusaha sukses, almarhum juga tak menyembunyikan kekesalannya pada hak istimewa kelompok tertentu dalam berbisnis.
Probo, demikian sapaan populernya, mendirikan PT Mercua Buana bersama rekan-rekannya pada tahun 1967.
Pria kelahiran Yogyakarta, 1 Mei 1930 itu sempat pindah ke Medan, Sumatra Utara. Di sana, probo menjadi guru. Saat berada di Medan, ia sempat mendirikan dua perusahaan bersama teman-temannya.
"Namun setelah Soeharto menjadi pejabat presiden, peruntungan bisnis Probo melonjak dramatis," demikian ditulis Richard Borsuk dan Nancy Chng, dalam buku Liem Sioe Liong dan Salim Grup, Pilar Bisnis Soeharto, diterbitkan Kompas tahun 2016.
Dalam buku itu juga disebutkan, meski secara pribadi Probo dinilai tidak dekat dengan Soeharto, tapi sebagai anggota keluarga presiden dia adalah kandidat yang dicari untuk pengelolaan bisnis Ali Baba. "Beberapa pengusaha Tionghoa yang mengharapkan pintu terbuka bagi proyek-proyek besar pemerintah melihal peluang dalam menjadikannya sebagai mitra."
Baca Juga
Kedaung Grup dan Mitra Bisnis Lainnya
Agus Nuralim, pemilik Kedaung Group disebut Richard Borsuk dan Nancy Chng sebagai salah satu mitra bisnis lama Probo. Kemitraan mereka terjalin dari awal 1970-an.
Selain tercatat sebagai salah satu produsen gelas dan perlatan rumah tangga keramik terbesarAsia, Kedaung juga memiliki perusahaan-perusahaan lain. Perusahaan-perusahaan tersebut terjun dalam bisnis perkapalan, industri baja, pengemasan dan produksi pakan temak.
Kedaung Table Top Plaza, Yogyakarta/wikimapia
Selain Kedaung, Probo juga pemah bekerja sama dengan mendiang Ong Seng Keng (Arief Husni) pengusaha Hokchia. Mereka bekerja sama dalam Bank Ramayana. Probo juga punya usaha otomotif yang dimulai pada 1977 kerja sama dengan General Motors dalam PT Garmak.
Rekanan bisnis Probo, ujar Borsuk, belakangan termasuk Sinar Mas Group milik Eka Tjipta Widjaja, dan Jan Dharmadi Group. Tahun 1984 Probo bergabung dengan Gudang Garam milik Surya Wonowidjojo untuk mendirikan usaha patungan yang memproduksi kertas sigaret.
"Walaupun banyak bermitra dengan orang Tionghoa dalam bisnis, Probo adalah pengkritik keras apa yang disebutnya posisi “diistimewakan para taipan Tionghoa". Dia bersuara lantang terutama setelah menjadi ketua Kadin," demikian paparan Borsuk dan Chnk.
Lim Sioe Liong
Lim Sioe Liong/wikipedia
Selain memiliki banyak mitra bisnis, Probo juga memiliki konkuren atau pesaing tangguh. Borsuk menyiratkan bahwa Lim Sioe Lion alias Sudono Salim sebagai pesaing berat Probosutedjo.
"Ada yang meyakini bahwa dia cemburu dengan hubungan akrab Liem dengan saudara tirinya, tetapi menahan diri agar tidak menunjukkan kebencian secara terbuka pada Salim Group," ujar Borsuk dan Chng.
Di sisi lain, kedua penulis buku Liem Sioe Liong dan Salim Grup, Pilar Bisnis Soeharto itu menggambarkan Probo juga bisa menunjukkan sisi pemberangnya setiap kali dikatakan bahwa dia mendapat perlakuan istimewa karena kerabat presiden. Hal yang sama akan terjadi ketika disinggung soal hak ekslusifnya untuk mengimpor cengkih disebut monopoli.
Dalam sebuah wawancara dengan Kompas pada tahun 1976, dia menegaska, “Nah, PT ini bukan Pak Harto yang mengusulkan, tapi Menteri Perdagangan Pak Soemitro waktu itu...Pak Harto sendiri ketika itu mengingatkan “lebih baik jangan Mercu Buana karena Mercu Buana itu adik saya nanti orang menduga itu fasilitas dari saya.”
Borsuk juga mengutip pernyataan Probo pada autobiografinya yang terbit tahun 2010 berjudul Memoar Romantika Probosutedjo, Saya dan Mas Harto. Dikutip Borsuk bahwa Probo menutukan bagaimana dia terlibat dalam duopoli cengkih.
"Rupanya Mas Harto sebetulnya sudah menunjuk Liem Sioe Liong untuk menjadi importir. Namun, Pak Soemitro [menteri perdagangan] merasa pemegang lisensi impor tidak boleh satu pihak. Akhirnya dia mengusulkan agar saya ikut. Semula Mas Harto menolak saya bergabung. Dia lebih percaya pada Liem Sioe Liong yang dinilainya mampu menangani impor cengkih. Mas Harto tahu, Liem pernah mengimpor cengkih saat dia masih berada di Semarang. Impor cengkih yang dilakukan Liem saat itu atas nama Kodam. Rupanya sukses Liem masih terbayang-bayang di benak Mas Harto. Namun, Pak Soemitro berkeras bahwa saya juga mampu karena pernah melakukan hal yang sama. Mas Harto akhirnya setuju. Adapun menurut Pak Soemitro, saya dan Liem dianggap sudah mengerti jalur dan lika-liku aktivitas impor cengkih," ujar Probo seperti dikutip Borsuk.
Akhirnya, untuk soal cengkih, Probo dan Liom Sioe Liong sama-sama memiliki hak impor.
Cengkih Zanzibar/sangsibarputih.files.wordpress.com
"Kepercayaan itu bukannya tanpa batasan. Lingkup kerja kami hanya sebagai pengimpor, sementara hak perdagangan cengkih ada di tangan pemerintah. Kami hanya mendapatkan fee dari jasa pembelian ke Madagaskar dan Zanzibar sebesar dua persen. Kami setuju. Maka resmilah PT Mercua Buana yang saya pimpin, dan PT Mega, perusahaan Liem, menjadi importir cengkih resmi atas nama Indonesia. Penunjukkan itu disahkan melalui keputusan Menteri No.332/KP/XII/70 tertanggal 31 Desember 1970. Di dalam suarat tersebut diputuskan bahwa PT Mercu Buana menjadi handling agent cengkih untuk Jawa Timur, dan PT Mega menjadi handling agent cengkih untuk Jawa Tengah. Seluruh kinerja perdagangan berdasarkan Instruksi Menteri Perdagangan No 45/M/INS/XI/70 yang dikeluarkan 27 November 1970," ujar Probo.
Dalam memoarnya, Probo juga menyatakan bahwa kesempatan ini sepertinya terdengar sebagai sebuah anugerah. "Namun lihatlah tanggung jawab di balik itu. Tidak mudah melakukan negosiasi impor cengkih dengan Zanzibar dan Madagaskar.
Lagi pula, lanjutnya, kondisi ketergantungan “mengimpor” bukanlah situasi yang sehat untuk mengembangkan industri rokok di tanah air. "Tetap saja yang dibutuhkan adalah segera mengembangkan perkebunan cengkih di dalam negeri sehingga kelak suplai cengkih bisa mencukupi kebutuhan perusahaan rokok dan, harganya pun bisa ditekan," ujarnya.
Gugatan Hukum
Menjadi orang dekat penguasa membuat langkah Probo tak sepi dari kritik. Probo bukan tipe yang mendiamkan kritikan yang dinilai menyerang dirinya tanpa dasar.
Pada 1950 Probo melancarkan gugatan pencemaran nama baik sebesar Rp50 miliar kepada pengamat bisnis Christianto Wibisono. Gugatan dilancarkan karena sang pengamat menyatakan dalam sebuah seminar universitas bahwa Probo “menjadi kaya karena pemerintah memberinya izin khusus mengimpor cengkih”.
Probo menyatakan bahwa dia hanya menerima 2% persen komisi untuk impor, yang pada tahun 1986 nilainya cuma 116 juta rupiah dari keseluruhan keuntungan sembilan miliar rupiah. Selebihnya disalurkan pada apa yang disebut oleh sebuah surat kabar “peti simpanan presiden untuk membiayai apa yang disebut bantuan presiden.” Permintaan maaf Wibisono menghentikan gugatan.
Christianto Wibisono/Antara
Tahun berikutnya, Probo juga mengancam menggugat akademisi Yahya Muhaimin yang disertasinya pada Massachussetts Institute of Technology juga menyatakan bawa PT Mercu Buana mendapatkan hak ekslusif (bersama PT Mega) mengimpor cengkih dari Afrika.
Disertasi berjudul “Business and Politics: Indonesia’s Economic Policy 1950-1980” itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial).
Mengutip pernyataan wartawan, Borsuk menuliskan bahwa “Probo berfokus pada deskripsi izinnya sebagai ‘monopoli’ – yang mengejutkan para pengamat mengingat lisensi eksklusifnya untuk mengimpor cengkih sudah lumrah diketahui.
Sementara menurut pengacara Probo, kliennya yakin sedang menjalankan sebuah “misi” bagi negara dengan mengimpor cengkih, bukan memanfaatkan monopoli bisnis.”
Borsuk menuliskan bahwa masalah ini diselesaikan setelah penulis bersedia mengubah susunan kalimatnya dalam edisi mendatang dan menyampaikan permohonan maaf. Kesediaannya menyelesaikan masalah sebelum perkaranya masuk pengadilan dikritik sebagian rekan sesama akademisinya, tetapi kabarnya Muhaimin mengkhawatirkan bahwa “berperkara melawan Probo di pengadilan pada akhirnya akan membenturkannya dengan Soeharto.”
Probo juga menjadi bahan berita baik sebelum dan sesudah kejatuhan Soeharto. Pada November 1997 Bank Jakarta miliknya termasuk dari 16 bank yang ditutup pemerintah. Menurut Borsuk, Probo berang dan mulai melancarkan aksi menggugat Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad.
Masalah Hukum
Saat masa kepresiden Susilo Bambang Yudhoyono, Probo diperiksa atas dugaan korupsi. Kasus Probo terpusat pada penyalahgunaan dana penghijauan pemerintah.
"Sebuah audit pajak kehutanan terhadap dana penghijauan yang dilakukan pada 1998 menemukan bahwa dalam lima tahun sebelumnya, sekitar 5,2 miliar dollar AS hilang dikorup (termasuk penggelembungan anggaran untuk proyek-proyek yang dibiayai dengan komisi, dan pernyataan tidak sesuai arena yang ditanami demi menerima subsidi lebih besar dari pendanaan), inefisiensi, dan penghindaran pajak," tulis Borsuk.
Pemeriksaan pengadilan terhadap Probo yang melibatkan dugaan raibnya uang 10 juta dollar AS menyedot perhatian publik. Tanpa tedeng aling-aling Probo menyatakan bahwa dia sudah mengeluarkan uang untuk menyuap hakim dan panitera, termasuk panitera Mahkamah Agung yang menangani kasasi atas putusan perkaranya.
Probo akhirnya divonis hukuman empat tahun penjara dalam kasus kehutanan, diperintahkan membayar denda 30 juta rupiah, dan mengembalikan dana yang dipakainya kepada negara. Tahun 2008, tak lama setelah meninggalnya Soeharto, dia dibebaskan setelah menjalani dua pertiga masa hukumannya.
Foto almarhum Probosutedjo/Bisnis-Shollahudin Al Ayubi
Kini, Probosutedjo sudah berpulang menuju Sang Khalik, semua kenangan yang ada menjadi bagian dari catatan sejarah negeri ini. Semoga segala budi baiknya diterima Allah SWT dan almarhum Probosutedjo meninggal dalam akhir hidup yang baik.