Bisnis.com, JAKARTA — Pengkhianatan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia atau PKI pada 30 September 1965 atau lebih dikenal dengan istilah G30S PKI di Jakarta menyebabkan gugurnya 7 Pahlawan Revolusi dan sekaligus melambungkan nama Panglima Kostrad Mayjen Soeharto dan membawanya menjadi Presiden selama lebih tiga dekade (12 Maret 1967—27 Maret 1998).
Ketika tragedi G30S PKI meletus, Mayor Jenderal Soeharto, sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang dikenal pendiam dan tidak terlalu popular segera bertindak cepat untuk melakukan upaya-upaya pengamanan di Ibu Kota DKI Jakarta, termasuk menjaga keselamatan Presiden Sukarno.
Soeharto percaya diri untuk berinisiatif mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat karena tidak ingin ada kekosongan komando setelah Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani ditembak dan dibawa oleh para penculiknya.
“Antara Soeharto dan Ahmad Yani sudah terjalin hubungan kerja sama yang lebih bersifat batin. Soeharto tahu kapan dia harus bergerak untuk melengkapi tugas Ahmad Yani. Sebaliknya, Ahmad Yani menaruh kepercayaan tinggi pada Soeharto,” ungkap Probosutedjo, pengusaha sekaligus kakak kandung daripada Soeharto, dalam Memoar Romantika Probosutedjo: Saya dan Mas Harto, yang ditulis oleh Alberthiene Endah (Gramedia Pustaka Utama, 2010).
"
Orang kadang-kadang salah kaprah mengira ilmu kebatinan itu ilmu klenik."
Soal batin dan kebatinan memang tidak bisa dilepaskan dari dunia Presiden ke-2 Indonesia tersebut. Pasalnya, Soeharto sangat menganut falsafah Jawa berikut sejumlah tradisinya pun benda-benda pusaka.
Penulis buku Anak desa: Biografi Presiden Soeharto, (Gunung Agung, 1976) O.G. Roeder melukiskan Soeharto sebagai anak dari desa kecil di Jawa (Dusun Kemusuk) yang patuh pada agama, seorang Islam yang sholeh, dan dijiwai tradisi kebudayaan Jawa tua berumur ribuan tahun.
Pangkostrad Mayjen Soeharto Sedang Bersemedi
Malam, sesaat sebelum G30S PKI meletus, Roeder dalam bukunya, mencatat bahwa pada malam 30 September 1965, Sukarno, Kepala Negara yang berkuasa penuh dan Presiden Seumur Hidup, Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, Mandataris MPR sedang berpidato di di hadapan kaum teknisi Indonesia di Istana Olahraga Senayan, Jakarta.
Ketika itu, sejumlah cerita menyebut Pangkostrad Mayjen Soeharto tidak hadir karena kabarnya dia sedang berada di suatu tempat, di mana dua aliran air sungai bertemu, untuk bersemedi. Soeharto juga disarankan oleh ‘dukunnya’ agar jangan pulang sebelum jam 2 menjelang dinihari.
“Pada malam tanggal 30 September itu, saya sebetulnya pergi menengok anak saya yang bungsu [Hutomo Mandala Putra] yang sedang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Cerita-cerita lain [soal keberadaan Soeharto] adalah isapan jempol belaka. Saya meninggalkan rumah sakit kira-kira tengah malam, langsung pulang dan tidur,” tulis Roeder mengutip pernyataan Soeharto (Gunung Agung, Hal 30).
Sementara itu, Siti Hartinah atau lebih dikenal dengan Ibu Tien, Istri Pangkostrad Mayjen Soeharto, juga punya kisah klenik lain, seperti dituturkan oleh Probosutedjo.
Ketika G30S PKI meletus, Mayjen Soeharto yang kala itu menjabat sebagai ketua RT di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, mendapat firasat yang tidak enak saat mendapat informasi dari Mashuri Saleh, sekretaris RT di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim No. 98, Menteng, pada dini hari 05.30 WIB tanggal 1 Oktober 1965.
“Saya terus mandi, memakai seragam lapangan saya, dan menyetir jeep sendiri. Di tengah jalan menuju Mabes Kostrad, saya melewati prajurit-prajurit berbaret hijau, yang berada di bawah komando Kostrad, tetapi tidak memberi hormat kepada saya,” ujar Soeharto, seperti dituliskan oleh O.G. Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (Gunung Agung: 31).
Pagi itu, saat berangkat menuju Mabes Kostrad, Mayjen Soeharto belum mengetahui bahwa ada tujuh Pahlawan Revolusi yang gugur akibat gerakan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh PKI.
Tujuh Pahlawan Revolusi yang menjadi korban dalam tragedi G30S PKI di Jakarta dan memperoleh kenaikan pangkat luar biasa adalah:
- Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani
- Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Suwondo Parman
- Mayor Jenderal TNI (Anumerta) Donald Isaac Pandjaitan
- Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Mas Tirtodarmo Haryono
- Letnan Jenderal TNI (Anumerta) R. Suprapto
- Mayor Jenderal TNI (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo
- Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Tendean
Sejak pagi 1 Oktober 1965 itu pula, Pangkostrad berkantor di Mabes Kostrad dan sibuk untuk mengatur strategi pengamanan ibu kota sehingga lupa memberi kabar kepada Ibu Tien.
Adapun Ibu Tien dan keluarga, melalui insiatif Probosutedjo, segera mengungsi dan menyewa rumah di Jalan Iskandarsyah, Kebayoran Baru.
Baca Juga : Probosutedjo : Saya Bukan Saudara Tiri Mas Harto |
---|
Meski sejak awal Ibu Tien cukup tenang, namun karena tidak kunjung mendapat informasi mengenai kabar suaminya, gelisah pun meruap.
Probosutedjo, dalam Memoar Romantika Probosutedjo: Saya dan Mas Harto, menyebut Mbakyu Harto seorang muslimah yang menganut pula paham kejawen, yang juga terbiasa membuat sesajen pada hari-hari khusus, termasuk untuk tata cara keselamatan.
“Dik Probo tolong carikan nasi kebuli. Saya perlu untuk sesajen. Saya was-was terus dengan kondisi Mas Harto,” demikian ujar Probosutedjo.
Sayang sulit bagi Probosutedjo untuk mendapatkan nasi kebuli sehingga dia akhirnya hanya membeli nasi yang disiram kuah merah dari sayur tertentu.
“Ini nasi apa sih? Ini bukan nasi kebuli, tapi nasi padang,” omel Mbakyu Harto.
Untungnya, pada 3 Oktober 1965 pagi itu, akhirnya datang kabar mengenai Mayjen Soeharto.
G Dwipayana dan Ramadhan K.H., dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (Citra Lamtoro Gung Persada, 1989) menuliskan bahwa Soeharto pada masanya ditempa untuk mengenal dan menyerap budi pekerti dan filsafah hidup yang berlaku di lingkungannya, mengenal agama dan tata cara hidup Jawa.
“Ilmu kebatinan itu untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan peninggalan nenek moyang kita. Orang kadang-kadang salah kaprah mengira ilmu kebatinan itu ilmu klenik,” kata Soeharto kepada G Dwipayana dan Ramadhan K.H.