Bisnis.com, JAKARTA - Terdakwa kasus dugaan korupsi e-KTP Setya Novanto, dalam persidangan Kamis 22 Maret 2018 mengungkap dua nama di pemerintahan sebagai penerima aliran dana.
Keduanya yakni Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani dan Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Upaya tersebut linier dengan permohonan statusnya sebagai justice collaborator kepada jaksa penuntut umum KPK. Pakar Hukum dari Universitas Indonesia Chudry Sitompul berpendapat, Setya Novanto tak bisa serta merta diputuskan sebagai justice collaborator.
"Dalam Surat Edaran MA No.4 tahun 2011 mengenai justice collaborator, dinyatakan tidak berlaku bagi pelaku utama," kata Chudry dalam diskusi Polemik MNC Trijaya, di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (24/3/2018).
Namun, regulasi tersebut tidak mengatur kriteria pelaku utama suatu tindak pidana. Sementara itu, merujuk pada Pasal 55 ayat 1 KUHP, pelaku utama adalah orang yang turut serta melakukan sekaligus mengorganisir tindak pidana.
Bunyi pasal tersebut yakni:
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.
Dengan demikian, lanjut Chudry, Setya Novanto harus terlebih dahulu membuktikan bahwa dirinya bukanlah pelaku utama, sehingga berpeluang diberikan status justice collaborator.
Hal senada diungkapkan Koordinator Divisi Monitoring dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho.
"Dengan pengajuan dia sebagai justice collaborator, dia ingin mendeklarasikan bukan pelaku utama. Jangan-jangan di atas Setnov ada penggerak dari proyek e-KTP ini," kata Emerson.
Ia pun menantang Setya Novanto untuk membongkar dalang dibalik kasus ini, jika memang ada. "Setya Novanto jujurlah, siapa [dalangnya]. Apakah dari pihak eksekutifkah, atau parpol," ujarnya.