Kabar24.com, JAKARTA—Ekspor dari China dan India tampaknya akan menjadi yang paling dirugikan oleh menguatnya nilai mata uang. Tren yang disebut juga sebagai “didorong oleh pelemahan” ini menggarisbawahi adanya sensitivitas dua raksasa ekonomi tersebut terhadap pasar valuta asing.
Analis Bloomberg Tamara Henderson menjelaskan tentang hubungan historis antara ekspor dan valuta asing yang tertinggi adalah di India pada 2017 selama satu dekade, diikuti oleh China, Malaysia, dan jepang. Sementara itu, hal berbeda tampak di Singapura yang mana ekspornya justru meningkat bersama dengan meningkatnya nilai mata uang.
Untuk wilayah yang sangat bergantung dengan ekspor, hubungan ekspor dan nilai mata uang menjelaskan mengapa para pembuat kebijakan di Asia meningkatkan aksinya tahun lalu seiring dengan pelemahan dolar AS.
Meningkatnya risiko ekonomi global pada tahun ini disebabkan oleh rencana tarif impor Paman Sam terhadap beberapa produk. Ancaman itu menimbulkan tekanan bagi negara-negara di Asia, yang merupakan pengekspor terbanyak untuk dunia, untuk membangun sistem yang dapat melindungi diri dari persaingan industri ekspor.
Henderson menambahkan bahwa para pembuat kebijakan sepertinya lebih memilih untuk mempertahankan kompetitivitas mata uangnya relatif terhadap pesaing perdagangan.
“Hal itu konsisten dengan operasional “mulus” di hadapan menguatnya mata uang, sebagai eviden untuk menumpuk cadangan. Proyeksi ekspor Asia untuk 2018 telah meredup seiring dengan ancaman proteksionisme dari pemerintahan Trump,” kata analis yang berbasis di Singapura ini, seperti dikutip Bloomberg, Selasa (13/3/2018).
Adapun, pihak yang berwenang di Thailand dan Korea Selatan telah mulai memperlihatkan perhatian terhadap menguatnya mata uang mereka. Sementara di negara-negara seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, ekspor menyumbang untuk lebih dari setengah produk domestik bruto (PDB).
Untuk diketahui, ekspor dari India telah memiliki ikatan yang kuat dengan performa mata uang di Asia sejak sedekade lalu. Hal ini mengindikasikan bahwa perolehan rupee India cenderung berkurang dari performa barang-barng ekspor, sementara mata uang kehilangan daya tariknya.
China, Jepang, dan Malaysia juga secara relatif memiliki korelasi negatif yang kuat, mendekati -0,6. Sementara rata-rata di Asia adalah -0,4 dalam sedekade terakhir. Adapun, pengiriman Singapura, yang sekitar setengahnya merupakan produk ekspor lanjutan (re-export) lebih tahan daripada risiko peningkatan nilai mata uang ini.
Berdasarkan Bank of International Settlements, ringgit Malaysia telah memiliki performa terbaik dibandingkan mata uang negara Asia lainnya pada Januari. Sementara peso Filipina dan rupiah Indonesia merupakan mata uang dengan performa terburuk.