Kabar24.com, JAKARTA — Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Kementerian Agama dengan Atase Pendidikan Perancis mulai melakukan pemetaan kebutuhan riset kolaboratif bidang sains dan teknologi.
Pemetaan kebutuhan mulai dilakukan mengingat implementasi program itu rencananya akan mulai dilakukan pada 2019 sehingga diperlukan beberapa langkah persiapan.
Direktur Diktis Arskal Salim mengatakan bahwa rapat bersama ini merupakan tindak lanjut pertemuan dirinya dengan Atase Pendidikan Perancis pada 22 Januari 2018.
Pertemuan ini, lanjutnya, telah memunculkan beberapa rencana program tindak lanjut antara lain short course untuk calon guru besar, penelitian kolaboratif internasional, dan studi lanjut S-3 melalui Program 5000 Doktor.
"Program ini, baik penelitian maupun beasiswa studi lanjut di bidang sains dan teknologi, sebaiknya bersifat afirmasi. Kedutaan Perancis akan memberikan banyak kesempatan, termasuk untuk kursus bahasa yang dipercukupkan dengan pencapaian kompetensi bahasa di level A2 saja," ucapnya, mengutip keterangan resminya, Selasa (6/2/2018).
Penyesuaian standar ini dimaksudkan agar banyak warga Indonesia yang dapat mengakses progran ini sehingga berkesempatan belajar di Prancis. "Bahkan, saya juga berharap lulusan pesantren dapat mengaksesnya," lanjutnya.
Atase pendidikan bidang kerjasama Sains dan Teknologi Perancis di Indonesia Nicholas Gascoin mengapresiasi langkah cepat Diktis dalam implementasi program kerjasama ini.
Dia berharap awal tahun ini sudah teridentifikasi peta kebutuhan penelitian di bidang sains dan teknologi.
Menurutnya, selain dosen fakultas sains dan teknologi, dosen prodi ilmu sosial juga dapat mengakses program bantuan ini. Namun demikian, dalam rangka menjawab kebutuhan guru besar di bidang sain dan teknologi, maka peserta short courses diharuskan memiliki naskah hasil penelitian yang akan dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi.
Nicholas menilai peserta program kemitraan ini lebih baik adalah mahasiswa yang sedang atau sudah menempuh pendidikan program doktor. Hal itu menurutnya akan mempermudah pelaksanaan kemitraan riset.
Pengalaman di negaranya, penggerak riset adalah para mahasiswa dan dosen yang telah menempuh jenjang Ph.D Program. Apalagi, kebanyakan jurnal dan publikasi pada Universitas di Perancis juga sudah terindeks di Thompson.
Hal sama disampaikan Perwakilan Perancis Indonesia, Syarah H. Sriyani. Menurutnya, ekspektasi pihak pengelola program kemitraan ini cukup tinggi sehingga persiapannya harus matang.
“Jika memungkinkan, dalam program short course, peserta dapat menghasilan dua artikel untuk publikasi pada jurnal internasional,” katanya.