Kabar24.com, JAKARTA - Program perhutanan sosial, yang kini diimplementasikan Pemerintah Indonesia, diharapkan bisa solusi dalam memaksimalkan pemanfaatan lahan sekaligus mendukung ketahanan pangan yang selaras dalam memitigasi perubahan iklim global.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyebutkan ada 4 sampai 5 praktik yang sudah diterapkan terkait pemanfaatan bentang alam dan ketahanan pangan. Hal itu disampaikan Menteri Siti Nurbaya pada pertemuan tingkat tinggi Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke 23 Fiji yang berlangsung di Bonn, Jerman saat mengunjungi Paviliun Indonesia, Selasa (14/11/2017). Sesi tersebut dihadiri oleh sejumlah pemimpin Negara peserta COP.
Menurutnya, persoalan pemanfaatan bentang alam berarti terkait dengan berbagai aspek yang ada di sana dimana ada faktor fisik dan manusia. Jika dikaitan dengan upaya pengentasan kelaparan (zero hunger) maka penerapan pola perhutanan sosial sangatlah tepat.
"Dengan perhutanan sosial kawasan hutan produksi yang telah terdegradasi dapat dimanfaatan untuk berbagai kegiatan produksi pangan dengan tetap mempertahankan kelestarian hutan. Kita terapkan perhutanan sosial yang mengedepankan kearifan lokal,” kata Menteri Siti Nurbaya dalam siaran pers, Kamis (16/11/2017) .
Dia menyatakan kawasan hutan produksi yang telah terdegradasi juga bisa dimanfatkan oleh swasta melalui kerjasama dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Kontrol akan dilakukan ketat oleh Kementerian LHK dan Kementerian Pertanian.
Dari diskusi di Paviliun Indonesia, Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hadi Daryanto mengungkapkan, pemerintah Indonesia memiliki komitmen politik untuk memberikan akses seluas 12,7 juta hektare hutan dalam skema perhutanan sosial.
“Indonesia sudah mengalokasikan hutan primer lahan gambut untuk moratorium guna mereduksi emisi gas rumah kaca, kami juga sudah alokasikan hutan untuk investasi dan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah juga tidak lupa untuk mengalokasikan lahan perhutanan sosial untuk kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan,” katanya.
Sampai saat ini luas izin perhutanan sosial yang telah diberikan mencapai 1,05 juta hektare dan menjangkau 239.341 kepala keluarga yang tergabung dalam 3.879 kelompok. Sebanyak 2.460 kelompok juga telah difasilitasi untuk pengembangan usaha. Dalam kesempatan tersebut, Hadi juga menyatakan pentingnya kerja sama dengan sektor swasta agar praktik terbaik perhutanan sosial bisa bergulir lebih cepat.
Sementara itu, Samsul Widodo, Dirjen Pembangunan Daerah Tertinggal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menyatakan penguatan usaha pada izin perhutanan sosial seperti di Hutan Desa bisa dilakukan dengan memanfaatkan dana desa.
“Pemerintah Indonesia mengalokasikan dana setara sekitar 4 miliar dolar AS tahun ini dan akan meningkat setara 5 miliar dolar AS tahun depan untuk dana desa,” kata dia. Dana desa menjangkau hingga 74.000 desa di seluruh Indonesia. Pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada desa yang menerima.
Samsul berharap, ke depan pemanfatan dana desa bisa ikut membantu pencapaian target pembangunan berkelanjutan (SDG’s) dan ikut berperan dalam mitigasi perubahan iklim, misalnya untuk penguatan usaha perhutanan sosial.
Sustainability Director Asia Pulp and Paper (APP) Sinar Mas, Elim Sritaba menyatakan komitmennya untuk mendukung program perhutanan sosial yang dijalankan pemerintah. Dia menjelaskan, saat ini pihaknya sudah mengembangkan pola pertanian agroforestri terpadu dalam payung Desa Mandiri Peduli API (DMPA).
APP Sinar Mas menargetkan akan ada 500 desa yang terlibat dan telah mengalokasikan 10 juta dolar AS dalam bentuk dana bergulir tanpa bunga yang bisa dimanfaatkan petani untuk berbagai kegiatan budidaya agroforestri. “Harapannya masyarakat semakin memahami untuk bersama-sama menjaga kelestarian hutan,” katanya.
Sejak diluncurkan di tahun 2015 sampai Oktober 2017 program yang dikembangkan APP Sinar Mas telah menjangkau 146 desa dengan dana tersalurkan mencapai Rp25,7 miliar.