Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tak Terima Penumpang Difabel, Etihad Diseret ke Pengadilan

Sudah lebih dari 1 tahun, peristiwa yang tidak mengenakan bagi Dwi terjadi. Walaupun Kementerian Perhubungan sudah berusaha mempertemukan maskapai Uni Emirat Arab itu dengan konsumennya, ternyata keduanya belum berdamai.
Ilustrasi/Reuters
Ilustrasi/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA — Kasus diskriminasi penyandang disabilitas yang ditolak terbang menggunakan Etihad Airways belum menemui titik temu.

Dwi Ariyani (37), yang rencananya bertolak ke Genewa pada April 2016, untuk mengikuti forum PBB, tidak diperbolehkan mengikuti penerbangan.

Sudah lebih dari 1 tahun, peristiwa yang tidak mengenakan bagi Dwi terjadi. Walaupun Kementerian Perhubungan sudah berusaha mempertemukan maskapai Uni Emirat Arab itu dengan konsumennya, ternyata keduanya belum berdamai.

Maju ke meja hijau menjadi pilihan Dwi agar maskapai tersebut tidak lagi melakukan praktik diskriminasi bagi konsumennya. Perkara perdata yang diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor register 846/Pdt.G/2016/PN JKT.SEL ini akan memasuki sidang kesimpulan yang rencananya digelar pada 31 Oktober mendatang.

Kuasa hukum Dwi Ariyani, Heppy Sebayang mengatakan gugatan yang dilayangkan kliennya untuk mengetahui mengapa Etihad Airways melakukan penurunan penumpang.

Dalam petitum yang tercanum dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menyatakan bahwa Etihad Airways, PT Jasa Angkasa Semesta Tbk., dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan hak penggugat.

Tidak hanya itu, para tergugat diminta untuk membuat permintaan maaf kepada penggugat dan para penyandang disabilitas di Indonesia di lima media cetak dan tiga media elektronik. Para tergugat juga diminta mengganti kerugian materiel dan immateriel senilai Rp678 juta.

“Alasannya, karena Dwi tak mampu mengevakuasi dirinya sendiri. Secara prosedural penerbangan itu tidak ada. Bahkan, anak di bawah umur dan lansia didampingi dengan menyiapkan kru,” tutur happy kepada Bisnis seusai persidangan, Senin (9/10).

Sebenarnya, ketentuan mengenai pelayanan bagi penumpang dengan disabilitas secara gamblang tertera pada Pasal 134 Undang-Undang No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan.

Pada Pasal 134 ayat pertama, disebutkan penyandang cacat, orang lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 tahun dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha angkutan udara niaga.

Pada ayat 2 dijelaskan mengenai fasilitas apa saja yang minimal didapatkan oleh penyandang disabilitas, lansia, anak-anak dan orang sakit selama menggunakan jasa maskapai penerbangan.

Heppy menambahkan fokus dari tuntutan hukum ini agar pihak maskapai tak lagi melakukan diskriminasi pada waktu mendatang. Mengenai tuntutan materil, menurutnya itu merupakan tuntutan ikutan.

“Kami sudah menghadirkan Ombudsman, Kementerian Sosial, Komnas HAM, dan semuanya menyebut tidak ada prosedur diskriminasi macam itu. Mending kalau belum naik pesawat, ini bagasi sudah di atas, dan penumpang sudah duduk,” tambahnya.

Saat itu, Dwi menggunakan penerbangan Jakarta–Abu Dhabi–Swiss pada 3 April 2016 untuk menghadiri Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper