Peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan di Istana Negara, Kamis (17/8/17), berasa begitu istimewa. Bukan cuma kehadiran lengkap para mantan Presiden, termasuk Pak SBY, Bu Mega dan Pak Habibie, tetapi juga suasana perayaan yang 'mengejutkan'. Ide Pak Jokowi agar para undangan menggunakan busana adat dari berbagai suku di Indonesia pada peringatan hari ulang tahun ke 72 Republik Indonesia itu telah memberi warna baru.
Sebenarnya kejutan sudah terjadi sejak penyampaian Pidato Kenegaraan dan Nota Keuangan/RAPBN 2018, Rabu (16/8). Saat itu Pak Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla mengenakan busana adat yang "tertukar". Pak Jokowi mengenakan busana adat Bugis, asal kelahiran Wapres JK, sedangkan Pak JK mengenakan busana adat Jawa khas Solo, asal kelahiran Pak Jokowi.
Tak ada tabu, tapi "elok dan apik". Seorang aktivis bahkan menilai terobosan Pak Jokowi itu merupakan cara mencairkan kebekuan di tengah susana ketegangan politik dan 'pertarungan' elite yang seolah tak kunjung padam. Tidak cuma kreatif, bahkan sebagian bernilai solutif.
Kebetulan beberapa hari lalu, saat bertemu dengan Pak Ciputra di kediamannya yang sejuk dan asri di kawasan Pondok Indah, kami sempat "ngrasani" Pak Jokowi soal inovasi dan kreativitasnya yang sering di luar kebiasaan.
Pak Ci, panggilan akrab Ciputra yang dikenal sebagai begawan properti dan pemilik imperium bisnis Ciputra Grup itu, bahkan menyebutkan Pak Jokowi sebagai presiden entrepreneur. Pasalnya, ia telah membuat inovasi dan kreasi baru di banyak bidang, termasuk soal kebut-kebutan di infrastruktur dan pendekatan 'Indonesia Centris', bukan cuma 'Jawa Sentris'.
Saya kira Pak Ci benar. Peringatan detik-detik proklamasi di Istana Negara yang biasanya seolah sakral, bahkan pernah sangat monoton dan tertuju pada satu figur kepala pemerintahan, kini begitu cair dan meriah, penuh warna, sekaligus mampu mengungkit keberagaman nusantara.
Bahkan, Pak Jokowi tak lupa memberi 'kejutan' lainnya berupa bagi-bagi sepeda untuk para undangan yang mengenakan busana adat terbaik. Uniknya, para pemenang adalah para pejabat negara diantaranya Ketua DPD Oesman Sapta Odang, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dan Isteri Kapolri Tito Karnavian, dan seorang pengawal Pak Jokowi. Mereka pun, pulang membawa sepeda hadiah dari Presiden, yang lazimnya diberikan dalam tebak kuis kepada anak-anak sekolah yang dikunjungi Pak Jokowi.
Move itu menjadi sesuatu yang tak terpikirkan oleh banyak orang sebelumnya. Bukan saja tidak biasa, tak cuma mencerminakn cara berfikir lateral dan out of the box, bahkan without the box.
***
Sehari sebelum peringatan detik-detik proklamasi di Istana Negara, Presiden menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN 2018 dalam sidang tahunan DPR/MPR dan DPD di kompleks gedung DPR, Senayan.
RAPBN 2018 datang di saat banyak kalangan khawatir akan kinerja ekonomi yang dinilai lesu. Banyak kalangan ramai mendiskusikan --dengan simpang siur-- soal daya beli yang dianggap menurun, namun kemudian dipatahkan oleh Faisal Basri. Ekonom senior dan disegani dari Universitas Indonesia itu menulis dengan berbagai data dan argumennya bahwa daya beli tidak merosot. Yang terjadi sebenarnya adalah pertumbuhan konsumsi yang melambat.
Di luar itu, jauh sejak sebelum wacana publik simpang siur soal isu daya beli, sebagian kalangan juga telah mempersoalkan beban utang luar negeri yang begitu besar, dan dianggap menggerogoti kapasitas fiskal dalam mendorong perekonomian.
Lalu penerimaan pajak juga dinilai seret, dan kemudian menciptakan persepsi bahwa pemerintah tengah panik dan berburu di kebun binatang, sampai-sampai muncul 'gugatan' kalangan tertentu atas rencana investasi dana haji di sektor pembiayaan infrastruktur.
Banyak lagi isu dan debat publik yang mengemuka --difasilitasi oleh media sosial-- yang kemudian membuat para pengusaha wait and see. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menggunakan istilah lain, wait and watch, yang berarti pengusaha lebih memilih untuk menunggu perkembangan sambil mewaspadai keadaan.
Maka, di tengah situasi seperti itu, banyak pertanyaan dan rasa penasaran terhadap profil RAPBN 2018, dan seberapa kuat strategi fiskal dalam rancangan anggaran tersebut mampu menjawab berbagai tantangan tersebut.
Reaksi awal adalah dari pasar saham--seperti biasa-- yang sering dipakai untuk mengukur seberapa positif atau negatif ekspektasi pelaku pasar terhadap profil RAPBN tersebut. Nyatanya, pasar saham ditutup positif pada perdagangan hari Rabu (16/8), bahkan menguat hampir 1%. Tampaknya pelaku pasar menganggap RAPBN 2018 lebih realistis, dan mengurangi risiko defisit yang lebih besar, yang berarti juga mengurangi peluang terus memperbesar utang.
Kita masih akan melihat, mampukah RAPBN 2018 menjawab berbagai persoalan yang dianggap membelenggu jalannya roda ekonomi. Meskipun, sebenarnya, tidaklah realistis bahkan berlebihan apabila mengandalkan APBN semata-mata sebagai mesin pertumbuhan.
Pasalnya, pertumbuhan ekonomi terbentuk bukan semata-mata dari sumbangan belanja pemerintah yang dirancang dalam APBN.
Ada faktor lain, termasuk konsumsi swasta, investasi dan perdagangan luar negeri, sesuai formula pertumbuhan ekonomi (Y), yang merupakan kombinasi dari variabel konsumsi (C), investasi (I), belanja pemerintah (G) dan net export (ekspor dikurangi impor).
***
Buat saya, setangguh apapun APBN tak akan banyak gunanya apabila sektor swasta tidak juga bergerak lebih kencang.
Di sinilah kemudian kita melihat banyak ambivalensi. Sektor swasta yang diandalkan menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi pun kini wait and see, bahkan sebagian merasakan berusaha di lingkungan yang kurang begitu nyaman.
Bukan cuma akibat sejumlah aturan yang belum dapat diperbaiki, tetapi juga 'hambatan' dari masyarakat sendiri. Deregulasi sudah banyak dikeluarkan melalui sejumlah paket kebijakan, namun dalam implementasinya malah muncul efek reregulasi.
Belum lagi dampak "reregulasi" yang teramplifikasi melalui berbagai percakapan publik. Antara cita-cita kebijakan dengan realitas di masyarakat belum seiring dan sejalan.
Saya ambil contoh proyek Meikarta, yang tiba-tiba menjadi obyek perlawanan publik bersama, dengan aneka isu yang melatari.
Buat saya, ini perilaku ambigu cum ambivalensi yang sesungguhnya. Di saat banyak orang berharap kegiatan ekonomi meningkat, lapangan kerja tersedia, dan kesempatan berusaha menggeliat, pada saat yang sama terjadi resistensi berjamaah tanpa solusi memadai.
Katanya pemerintah tengah gencar membuat deregulasi, mempermudah perizinan, tetapi kegiatan usaha yang hendak jalan justru seolah dihambat oleh alasan perizinan. Bukankah seyogianya dapat difasilitasi jalan keluar terbaik apabila masalahnya adalah soal perizinan?
Mindset 'memberi solusi' belum tertanam dalam di benak masyarakat kita ini termasuk penyelenggara negeri. Cara berfikir dan bekerja 'without the box' yang coba diperkenalkan Pak Jokowi belum menular ke para punggawa lain yang menggawangi negeri.
Meikarta hanya contoh kasus saja. Banyak peluang bisnis lainnya yang mentok gara-gara kelembaman birokrasi atau resistensi masyarakat sendiri. Reklamasi pantai utara Jakarta sebelumnya juga menghadapi resistensi publik yang luar biasa. Tak ketemu antara tujuan mencipta peluang bisnis dan lapangan kerja dengan sentimen publik dengan berbagai alasan yang melatarinya.
Di luar itu masih banyak isu yang lain, termasuk aksi penegakan hukum yang bertujuan menertibkan aneka tataniaga yang dianggap tidak proper dan praktik bisnis yang ditengarai 'ilegal' dan tidak jujur.
Antara tujuan baik melakukan berbagai penertiban untuk kepentingan negara dan publik serta pelaksanaan atau aksi di lapangan seperti bertolak belakang.
Ini melengkapi kecemasan yang muncul sebelumnya atas repsons upaya pemberantasan korupsi.
***
Maka, percayalah, tidak ada resep manjur untuk membuat perekonomian negeri ini bergerak maju lebih kencang, kecuali "kerja bersama" dalam arti sebenarnya. Bukan sebagian kerja tetapi sebagian lainnya menghalangi. Bukan pula sebagian kerja, sebagian lainnya mencaci-maki.
Potensi negeri ini akan jauh lebih kuat apabila dapat bergotong-royong --filosofi lama bangsa Indonesia-- mencari solusi bersama untuk memajukan bangsa.
Jangan sampai kita kehilangan kesempatan, dan hilang waktu sia-sia karena terus menerus bersitegang untuk hal-hal yang tidak perlu, serta mengabaikan substansi dan tujuan besar.
Tiba-tiba, saya kembali ingat keyakinan pribadi yang tertanam cukup lama, bahwa Indonesia memang belum benar-benar siap berdemokrasi. Demokrasi dan kebebasan berpendapat lebih banyak dipakai untuk saling memboikot dan menghujat, ketimbang untuk mencari jalan keluar dengan menawarkan pilihan atau opsi terbaik.
Tak apalah, barangkali ini bagian dari proses pematangan demokrasi.
Maka, saat kita semua merayakan ulang tahun ke-72 kemerdekaan Republik Indonesia, dan memperingati detik-detik proklamasi, mestinya kita tak lagi memproklamirkan kemerdekaan, tetapi memperjuangkan proklamasi baru dalam mengisi kemerdekaan.
Mestinya, kini saatnya kita memproklamasikan tekad bersama untuk memperjuangkan kemakmuran.
Buat saya, merdeka berarti bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketimpangan, ketertinggalan. Lebih dari itu, merdeka dari saling curiga dan 'permusuhan' antar anak bangsa hanya karena beda preferensi pilihan politik, sehingga lupa tujuan bersama untuk mencapai kemakmuran.
Nah, bagaimana menurut Anda? (*)