Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

HUT Ke-72 RI, Belajar Politik Tanpa Dendam dari Buya dan Soekarno

Tidak lama lagi bangsa Indonesia akan memperingati hari jadi yang ke-72. Melanjutkan tradisi tahun-tahun sebelumnya, Agustusan selalu menjadi momentum yang tepat untuk melakukan refleksi terhadap sejarah berdirinya negeri ini.
Seniman asal Blitar Sonny Yuwono mengerjakan lukisan Soekarno terpanjang, di Balai Seni Museum Istana Gebang, Kota Blitar, Jawa Timur, Rabu (17/6/2015)./Antara-Irfan Anshori
Seniman asal Blitar Sonny Yuwono mengerjakan lukisan Soekarno terpanjang, di Balai Seni Museum Istana Gebang, Kota Blitar, Jawa Timur, Rabu (17/6/2015)./Antara-Irfan Anshori

Kabar24.com, JAKARTA—Tidak lama lagi bangsa Indonesia akan memperingati hari jadi yang ke-72. Melanjutkan tradisi tahun-tahun sebelumnya, Agustusan selalu menjadi momentum yang tepat untuk melakukan refleksi terhadap sejarah berdirinya negeri ini.

Sebagaimana dituliskan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and the Last Man (1992), bangsa yang besar terlahir dari sejarahnya sendiri. Jadi, sudah semestinya kita selalu menilik sejarah sebagai landasan penting dalam memupuk azas-azas kenegaraan.

Ada banyak cerita sejarah perjuangan yang dapat dipetik sebagai nasihat yang relevan untuk kondisi kebangsaan kita saat ini. Salah satunya adalah bagaimana para Founding Fathers kita berpolitik pada zamannya.

Memang, sejarah mencatat, para bapak bangsa itu tidak selalu memiliki pemikiran atau manuver politik yang bijaksana. Bagaimanapun, dari merekalah kita bisa belajar bagaimana seharusnya mendewasakan bangsa ini. Apalagi, usianya sudah lebih dari tujuh dekade.

Dari banyak nama besar pada era prakemerdekaan hingga awal kemerdekaan Indonesia, ada dua yang patut kita soroti, yaitu Soekarno dan Buya Hamka. Keduanya memiliki latar belakang dan peran politis yang berbeda, tetapi memberi warisan penting dalam sejarah RI.

Soekarno adalah bapak bangsa dan presiden perdana Indoensia yang disegani, sedangkan Buya merupakan ulama kharismatik dan cendekiawan yang terkenal kritis. Mereka sama-sama menjadi panutan dalam hal pemikiran ataupun perpolitikan.

Meskipun berawal sebagai mitra, Soekarno dan Buya pernah mengalami friksi dalam berpolitik. Sehingga, Buya terpaksa dipenjarakan ‘tanpa alasan yang jelas’ selama kurang lebih 23 tahun. Di dalam penjara juga, lahirlah karya monumentalnya, yakni Tafsir Al Azhar.

Saat itu, hegemoni Soekarno pada era Orde Lama begitu mengakar dan memicu dijebloskannya banyak ulama ke dalam penjara sebagai tahanan politik. Namun, satu hal yang menarik, sejarah mencatat bahwa Buya sama sekali tidak menyimpan dendam.

Hal itu terbukti saat Buya rela memenuhi permintaan Bung Karno untuk menjadi imam dan menyhalati jenazahnya ketika bapak bangsa itu wafat pada 21 Juni 1970. Padahal, para ulama dan tokoh di sekitar Buya saat itu tidak setuju dan menolak keras permintaan itu.

Sikap ‘politik tanpa dendam’ Buya dan Soekarno itu seharusnya bisa menjadi pelajaran pendewasaan bangsa yang sangat berharga. Apalagi, belakangan ini Indonesia dirundung konflik kepentingan golongan berbumbu fitnah yang tak ada henti-hentinya.
 
Menurut analis poiltik LkiS Institute Development Research, Saifuddin Al Mughniy, bangsa Indonesia semestinya belajar dari sejarah tokoh-tokoh besar yang mendirikan bangsa ini. Kenyataannya kedewasaan berpolitik kita justru melorot selama 72 tahun terakhir.

“Realita politik kekinian telah membentuk satu entitas budaya politik yang tidak berkarakter. Kenapa demikian? Sebab pertarungan politik [saat ini] selalu dimulai dari menang-kalah, bukan pada sebuah kearifan politik,” paparnya.

Dia berpendapat filosofi ‘menang-kalah’ dalam berpolitik hanya akan berujung pada sebuah ketidakterimaan. Pihak yang menang akan merasa jumawa, sedangkan yang kalah merasa terhina. Akibatnya, gugat menggugat dan konflik antarpendukung pun tak terhindarkan.

Perlu diingat bahwa republik ini didirikan dengan sikap gotong royong dan toleransi, bukan dengan sikap saling menjatuhkan dan menghujat satu sama lain. Itulah mengapa, memasuki tahun ke-72 bangsa ini, perlu ada penyegaran mindset politik menjadi lebih beradab.

Sebagaimana para bapak bangsa melepaskan jubah egonya masing-masing saat mendirikan NKRI, saat ini para pemangku kepentingan harus memliki keinginan politik (political will) bersama yang lebih beretika dan menjunjung tinggi kemanusiaan serta keadilan.

Sekali lagi, belajar dari Buya dan Soekarno, komunikasi politik yang baik dan legowo akan menjadi preseden yang baik pula bagi keharmonisan dan ketentraman rakyat. Ingat, kemerdekaan yang kita emban juga merupakan buah dari sebuah kedewasaan berpolitik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper