Kabar24.com, JAKARTA - Aksi terorisme di pos penjagaan Mapolda Sumatra Utara yang menyebabkan 1 anggota Polri meninggal merupakan peringatan serius bagi negara untuk terus meningkatkan kemampuan mencegah segala bentuk terorisme, termasuk mencegah segala tindakan yang potensial bertransformasi menjadi tindakan teror.
Hendardi, Ketua Badan Pengurus Setara Institute mengatakan, dukungan terhadap pemberantasan terorisme jangan sampai kehilangan fokus. Polri, menurut Hendardi, membutuhkan kewenangan pre-trial sebagai manifestasi doktrin preventive justice yang saat ini sedang dibahas dalam RUU Antiterorisme.
"Kewenangan pre-trial pada intinya memungkinkan Polri memeriksa orang-orang yang potensial menjadi aktor teror dengan sejumlah indikator yang valid, misalnya keterlibatan seseorang dalan latihan perang/militer," kata Hendardi, Selasa (27/6/2017).
Selama ini, aksi terorisme yang terjadi diduga dilakukan oleh aktor yang sebenarnya sudah sejak lama terindikasi terlibat terorisme. Akan tetapi, karena kewenangan preventif yang terbatas, maka sepanjang belum ada bukti memadai, seseorang tidak boleh ditindak.
Di samping itu memperkuat aturan operasional dari konsep preventif justice adalah cara negara mendukung pemberantasan terorisme secara lebih genuine. Presiden dan DPR sebagai otoritas legislasi harus memastikan fokus revisi RUU Antiterorisme pada penguatan kewenangan pencegahan.
Kendati demikian, karena karena kewenangan pre-trial berpotensi melanggar HAM, maka kerangka pemberantasan terorisme mutlak diletakkan dalam rezim peradilan pidana.
Baca Juga
"Dengan demikian, selain kewenangan preventif yang mampu menjangkau dan mendeteksi secara dini potensi-potensi terorisme, kekhawatiran praktik abusive dari penerapan konsepsi preventive justice dalam pemberantasan terorisme tetap bisa dimintai pertanggungjawaban hukumnya sebagaimana tersedia dalam mekanisme peradilan pidana," jelas Hendardi.