Bisnis.com, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan yang dilayangkan politisi Miryam S. Haryani terkait penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam sidang dengan agenda pembacaan putusan, Selasa (23/5/2017), hakim tunggal Asiadi Sembiring mengatakan bahwa penetapan Miryam sebagai tersangka berdasarkan surat perintah penyidikan berseri Sprin.Dik-28/01/04/2017 telah sah.
Surat perintah tersebut, lanjut hakim, telah diterbitkan sesuai dengan dasar hukum dan hal ini berarti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan langkah yang benar dalam menetapkan Miryam sebagai tersangka dengan tudingan memberikan keterangan tidak sebenarnya dalam persidangan korupsi pengadaan KTP elektronik.
Miryam yang mengajukan permohonan praperadilan tersebut juga dibebani biaya persidangan sebesar Rp5.000.
Putusan hakim tersebut sesuai dengan keyakinan KPK bahwa lembaga tersebut telah menetapkan Miryam sebagai tersangka sesuai prosedur yang diatur berdasarkan Undang-undang (UU) No 31/1999 sebagaimana telah diubah melalui UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No 30/ 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebelumnya, Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setiadi mengatakan gugatan pemohon yang menyatakan bahwa komisi tersebut tidak berwenang melakukan penyidikan pemberian keterangan tidak benar berdasarkan Pasal 22 Undang-undang (UU) No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah tidak betul.
Baca Juga
Pasal 22, lanjutnya, menyatakan KPK berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus lain yang masih berkaitan dengan proses pemberantasan korupsi. Dalam UU No 30/2002 tentang KPK, khususnya pada Pasal 6 huruf c komisi itu memiliki tugas dan kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi sehingga seluruh tindak pidana yang diatur dalam UU Tipikor yang merupakan tindak pidana korupsi maka menjadi kewenangan KPK.
“Termohon memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan bahkan penuntutan terhadap pasal 22 UU Tipikor,” paparnya dalam persidangan.
Penggunaan pasal ini, lanjutnya, juga kerap digunakan oleh KPK dalam kasus-kasus lainnya seperti Muchtar Ependy pada 10 Juni 2015, Romi Herton pada 17 Juni 2015, Budi Anton Aljufri dan Said Faisal Muchlis.
Dia juga mengungkapkan pemohon salah kaprah dengan menyatakan bahwa KPK menjerat kliennya berdasarkan Pasal 174 KUHAP. Faktanya, penyidikan terhadap Miryam S. Haryani dilakukan berdasarkan Pasal 22 UU Pemberantasan Tipikor dengan dugaan memberikan keterangan tidak benar.
Penggunaan Pasal 174 KUHAP, lanjutnya, memiliki korelasi dengan Pasal 242 KUHP sementara dalam pidana korupsi, dugaan pemberian keterangan tidak benar atau palsu diatur dalam Pasal 20 jo Pasal 35.
Pasal 20 itu, paparnya, memiliki cakupan lebih luas dari Pasal 242 KUHP karena sesuai dengan latar belakang dibentuknya UU pemberantasan korupsi yang menyatakan bahwa kasus korupsi merupakan tindak kriminalitas luar biasa.
Sementara itu, terkait tudingan dari pihak pemohon bahwa KPK tidak memiliki alat bukti yang cukup dalam menetapkan Miryam S. Haryani sebagai tersangka menurut Setiadi hal itu tidak berdasar.
KPK, lanjutnya, jelas memiliki alat bukti seperti keterangan tertulis yang tertuang di dalam bukti acara pemeriksaan, keterangan saksi, serta rekaman pemeriksaan terhadap terdakwa sewaktu masih berstatus sebagai saksi dalam penyidikan korupsi pengadaan KTP elektornik, serta rekaman dalam persidangan.
Miryam ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dengan tudingan memberikan keterangan tidak sebenarnya setelah dia mencabut bukti acara pemeriksaan (BAP) dalam persidangan korupsi pengadaan KTP elektronik dengan alasan ditekan oleh penyidik.
Dalam salah satu persidangan penuntut umum membuka rekaman pemeriksaan dan terlihat bahwa tidak tergambarkan unsur tekanan yang diberikan oleh penyidik terhadap politisi Partai Hanura tersebut.