Kabar24.com, JAKARTA - Suku Bajo (Sama-Bajau) ditemukan terpencar dalam sejumlah desa yang terletak di sepanjang pesisir wilayah Timur Indonesia, bagian selatan Filipina (Kepulauan Sulu) dan bagian utara Kalimantan (Sabah, Malaysia).
Rumpun bahasa Sama-Bajau, yang menghimpun belasan bahasa, menunjukkan kelompok-kelompok masyarakat Sama-Bajau berasal dari bangsa dan wilayah yang sama.
Migrasi suku Sama-Bajau mulai terjadi pada masa pra kolonialisasi dan dalam beberapa gelombang. Beberapa kelompok kemudian menjadi suku nomaden perairan.
Peneliti Prancis Philippe Grange mengatakan kenangan mengenai tanah leluhur Sama-Bajau sama sekali telah terlupakan seiring berlangsungnya gelombang-gelombang migrasi. Tradisi lisan Sama-Bajau mengisyaratkan berbagai tanah leluhur, utamanya di Semenanjung Malaysia.
“Namun tidak ada argumen ilmiah yang dapat membuktikan cerita-cerita tersebut. Meski begitu, mitos mengenai asal-usul Sama-Bajau menunjukkan motif yang sama, yaitu pengasingan dan pembuangan,” katanya dalam diskusi bertema Diaspora Maritim Suku Bajo Indonesia: Mengurai Sejarah Lewat Bahasa di Auditorium IFI Jakarta, pada Rabu (17/5/2017).
Dalam keterangan tertulis yang diterima pada Kamis (18/5/2017), pertanyaan mengenai asal-usul ini pun mengusik keingintahuan orang Sama-Bajau sendiri. Tidak seperti suku maritim lainnya, terutama Bugis, orang-orang Sama-Bajau tidak bisa menunjukkan asal-usul yang pasti, bahkan tidak sebuah desa ataupun monumen simbolik.
Grange mengatakan diaspora mereka tidak meninggalkan satu pun dokumen sejarah dan petunjuk arkeologis, hanya bahasa dan gen merekalah yang dapat dijadikan acuan untuk menapak jejak migrasi mereka hingga ke tanah leluhur mereka.
Dalam seminar tersebut, Grange menunjukkan data-data linguistik dan genom. Menjadi orang Bajo hari ini tidak sekadar identitas budaya, namun juga warisan genetik.
Hasil-hasil dari berbagai studi genom terbaru menunjukkan bahwa masyarakat Bajo Indonesia pernah lama hidup bersama masyarakat Bugis. Tidak hanya itu, ditemukan pula pembawaan gen yang amat beragam.
Philippe Grangé memaparkan skenario pengembaraan panjang orang-orang Bajo yang berawal sejak seribu tahun mulai dari muara Sungai Barito (Kalimantan Selatan) sampai ke pantai-pantai di Indonesia timur, Sabah, dan Sulu.
Lahir pada 1962, Philippe Grangé menggemari Indonesia sejak dia ditugaskan di Bandung pada 1982-1985 sebagai sukarelawan internasional.
Pernah berprofesi sebagai pengajar bahasa Prancis dan rekanan Lettres Modernes, Philippe Grangé meraih gelar doktornya dengan disertasi mengenai Temps et aspect en Indonésien.
Kini dia bekerja sebagai dosen linguistik dan bahasa Indonesia di Universitas La Rochelle dan mengepalai Institut Universitaire Asie-Pacifique di sana. Dia juga koordinator program kerja sama desentralisasi antara CdA de La Rochelle dan Kota Kendari (Sulawesi Tenggara, Indonesia).