Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengidentifikasi beragam persoalan terkait pemilihan kepala daerah yang perlu perbaikan.
Dari informasi yang dihimpun Bisnis.com dari laman resmi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada Jumat (12/5/2017), setidaknya ada 9 hal yang menjadi langkah perbaikan yang mengacu pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017.
“Beragam persoalan dalam Pilkada Jakarta perlu mendapatkan perhatian serius agar ke depan mampu diperbaiki guna penyelenggaraan Pilkada yang lebih bagus lagi. Selain pula sebagai proses pembelajaran bagi Pilkada wilayah lainnya,” ungkap Ridho Imawan Hanafi, Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI.
Kesembilan langkah tersebut yakni pertama, bagi partai politik. Seleksi kandidiat di internal perlu melibatkan anggota partai dan dilakukan secara transparan, sehingga kandidat yang muncul tidak hanya ditentukan elit politik. Partai juga diminta untuk mengoptimalkan kaderisasi.
Kedua, untuk penyelenggara pilkada. Penyelenggara harus memperkuat independensi dan netralitas sesuai aturan. Dengan demikian, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) harus lebih aktif memantau kinerja penyelenggara.
Penyelenggara pemilu dan DKPP, masih dalam informasi itu, harus mengedukasi masyarakat secara aktif untuk memanfaatkan mekanisme komplain. Akhirnya, kesadaran publik terhadap potensi pelanggaran dan kecurangan dalam pilkada tumbuh.
Ketiga, terkait penyelenggaraan survei pilkada. Lembaga survei diharapkan dapat memberikan fokus riset yang imbang antara isu elektabilitas dengan isu-isu yang nonelektabilitas. Selain itu, perlu optimalisasi fungsi pengawasan secara serius dan berkala, khususnya audit etik dan metodologi.
Keempat, pencegahan politisasi aktor-aktor keamanan dalam pilkada. Surat Edaran Peraturan Kapolri No. SE/7/VI/2014 yang menunda segala proses hukum terhadap kandidat, perlu diberlakukan hingga pemilu selesai. Persoalan ini perlu diatur secara khusus dalam UU Pilkada.
Kelima, penjagaan netralitas. Untuk pencalonan anggota Polri/TNI dalam pilkada atau kontestasi jabatan sipil lainnya paling cepat dilakukan dalam satu periode pemilu – 5 tahun – setelah yang bersangkutan mengundurkan diri dari jabatannya di TNI/Polri.
Keenam, penghindaran politisasi massa dalam Pilkada. Oleh karena itu, LIPI mrekomendasikan perlunya aturan yang lebih tegas berkaitan dengan gerakan mobilisasi massa yang besar diluar masa kampanye.
Ketujuh, pencegahan informasi hoax di media sosial. Oleh karena itu, LIPI memandang perlunya regulasi yang jelas dan tegas dalam penyampaian informasi di media sosial. Regulasi itu untuk menindak tegas para pembuat atau penyebar hoax yang menjadi sarana menyebar kebencian atau intoleransi.
Kedelapan, berkaitan dengan media mainstream. LIPI berpandangan media perlu mengedepankan independensi dan aspek jurnalisme damai. Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama antara penyelenggara Pemilu dengan dewan pers terkait dengan penegakan etika jurnalis dan korporasi media.
Kesembilan, berkaitan dengan persoalan maraknya penggunaan politik identitas. Tokoh agama, tokoh masyarakat, dan elit-elit politik perlu berperan aktif untuk menjaga harmonisasi antar umat beragama dan kelompok etnis dalam konteks pilkada.
Selain itu, negara perlu mengelola penggunaan simbol-simbol identitas, seperti primordial, religiusitas, dan etnisitas dalam ruang publik maupun ruang privat. Usulan perbaikan ini disampaikan olehTim Peneliti Analisis Pilkada Jakarta 2017 dari Pusat Penelitian Politik.