Kabar24.com, JAKARTA – Ketua Setara Institute Hendardi menuturkan, vonis 2 tahun penjara untuk Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) merupakan kasus penodaan agama ke- 97 yang terjadi sepanjang 1965-2017.
Sebagai sebuah mekanisme demokrasi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara haruslah dihormati. Akan tetapi harus pula diakui, bahwa majelis hakim bekerja di bawah tekanan gelombang massa yang sejak awal memberikan tekanan dan mendesak pemenjaraan Basuki.
Menurut Hendardi, vonis itu mempertegas bahwa delik penodaan agama rentan digunakan sebagai alat penundukkan bagi siapapun dan untuk kepentingan apapun. Bahkan dari 97 kasus yang pernah terjadi, 89 kasus terjadi pasca 1998. Di sinilah bahaya dari ketentuan yang bias dan multitafsir dari Pasal 156a KUHP.
“Vonis terhadap Basuki di luar kelaziman, karena hakim memutus melampaui apa yang menjadi tuntutan JPU. Karena JPU gagal membuktikan dakwaan primer Pasal 156a, maka JPU hanya menuntut Basuki dengan Pasal 156 KUHP,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (9/5/2017).
Meskipun tidak lazim, secara prinsip memang hakim independen dan merdeka dalam memutus perkara, sepanjang tidak keluar dari delik dan dakwaan yang termaktub dalam undang-undang.