Bisnis.com, JAKARTA -- Janji pemerintah untuk menggugat ganti rugi pada PTT Exploration and Production Company (PTTEP) Australasia Montara akan segera diwujudkan bulan depan.
Untuk mempersiapkannya, Kemenko Maritim menggelar rapat koordinasi dengan Jaksa Pengacara Negara (JPN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), serta beberapa ahli yang berkompeten di bidang terkait di Depok sejak kemarin hingga hari ini.
Siaran pers Kemenkomar, Jumat (17/3/2017), rakor dilakukan untuk mengumpulkan penjelasan ilmiah beragam ahli tentang bukti yang telah dikumpulkan oleh tim nasional di lapangan setelah kilang Montara meledak 21 Agustus 2009.
Pemerintah mengambil keputusan untuk mengajukan gugatan perdata atas kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran minyak di perairan Laut Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh perusahaan asal Thailand tersebut.
Menurut Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenkomar Basilio Dias Araujo, PTT EP hingga kini belum bersedia bertanggung jawab atas insiden itu.
“Pemerintah RI sudah pernah meminta kompensasi kepada PTTEP melalui jalur nonlitigasi, tapi proses negosiasi mengalami deadlock pada 2012 sehingga tidak tercapai kesepakatan apapun,” ujarnya dalam siaran per situ.
Alih-alih memberikan ganti rugi, perusahaan yang beroperasi di wilayah perairan Australia itu dalam website resminya, www.pttep.com, mengutip hasil riset independen bahwa tidak ada minyak dari kilang Montara yang memasuki wilayah daratan RI dan Australia. Bahkan dalam rilis yang sama, PTTEP mengklaim tumpahan minyak hanya memberikan dampak kecil atau bahkan tidak ada sama sekali pada ekosistem atau spesies laut di perairan Timor.
Tidak ingin kasus ini lepas begitu saja, kini pemerintah sedang menyusun amunisi untuk kembali mengangkat kasus itu.
“Ini berhubungan dengan kedaulatan RI dan nasib rakyat kecil yang menggantungkan hidupnya di sektor kelautan. Maka, kita harus lawan dengan cara yang lebih terencana,” tegas Basilio. Untuk itu, pemerintah kembali mengumpulkan bukti dan mengundang sekitar 50 ahli untuk mendukung langkah tersebut.
JPN yang hadir dalam rapat itu juga sepakat untuk teliti dan tidak gegabah dalam mempersiapkan materi gugatan. JPN akan menggunakan UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai dasar gugatan.
“Kami tidak ingin mempersiapkan gugatan yang asal-asalan,” kata Robert Zega, anggota tim JPN yang hadir dalam rapat itu.
Rapat yang digelar secara maraton sejak Februari itu akan kembali diteruskan dengan peninjauan lapangan ke Kupang oleh tim nasional dari Kemenkomar, JPN, KLHK, KKP, dan ahli sekitar 20 Maret.
Tidak hanya pemerintah RI, pada 2016, 13.000 petani rumput laut NTT yang diwakili oleh pengacara dari Firma Hukum Maurice Blackburn mengajukan gugatan class action ke pengadilan federal di Australia. Mereka mengajukan gugatan atas pencemaran laut yang menghancurkan rumput laut milik petani, mengurangi hasil tangkapan nelayan, dan dan berdampak buruk terhadap kesehatan warga di NTT. Gugatan itu dikabulkan oleh majelis hakim lima bulan kemudian.