Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Proteksionisme Ekonomi AS Tak Pengaruhi Lonjakan Ekspor China

Data perdagangan China menunjukkan adanya pelonjakan per Januari 2017 seiring dengan banyaknya permintaan baik dari dalam maupun luar negeri.

Kabar24.com, BEIJING-- Data perdagangan China menunjukkan adanya pelonjakan per Januari 2017 seiring dengan banyaknya permintaan baik dari dalam maupun luar negeri.

Hal ini merupakan awal yang baik bagi pasar dagang terbesar di Asia meski adanya kebijakan proteksionisme ekonomi yang dicanangkan AS dibawah kepemimpinan Donald Trump.

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump pernah menuding China dan dua mitra dagang AS yakni Jepang dan Jerman telah mendevaluasi mata uang sehingga merugikan perusahaan AS dan konsumen.

Bahkan, Trump juga menerapkan tarif tinggi terhadap barang-barang impor asal negeri Panda itu.

Kendati pun demikian, Trump menyepakati

“Data perdagangan China menjadi cukup baik di periode pertama tahun ini karena dijalankan sangat baik hingga akhir 2016 silam," ujar Louis Kuijs, Kepala Ekonomi Asia, Oxford Economics di Hong Kong.

“Kekhawatiran kami adalah tentang peraturan dagang AS kemungkinan besar terjadi proteksionisme. Hal ini cukup jelas bagi saya bahwa ekspor ke AS akan cukup sulit di tahun-tahun mendatang,” imbuhnya.

Berdasarkan data pada Jumat (10/2), impor China telah meningkat dalam kurun waktu empat tahun terakhir seiring dengan melonjaknya permintaan pasar di bidang konstruksi serta harga komoditas global tembaga untuk pembuatan baja.

Seperti yang diketahui, bahwa impor China dari Amerika Serikat meningkat di angka 23,4% per Januari dengan laju tercepat setahun terakhir. Sedangkan surplus perdagangan bulanan dengan AS merosot hingga US$21,4 miliar.

Masih mengacu pada data, baik China maupun AS menunjukkan surplus China terhadap AS menurun pada tahun lalu namun tetap berada diatas level US$20 miliar sehingga hal itu itu menjadi alasan bagi AS untuk menuding China telah mendevaluasi mata uang.

Departemen Perdagangan AS menyatakan surplus menurun dari US$20,1 miliar menjadi US$347 miliar pada 2016.

Sementara itu, dalam kurun waktu satu tahun hingga Januari 2017, pendapatan ekspor China yang didominasi oleh ekspor elektronik menunjukkan bahwa resesi perdagangan yang panjang di Asia dapat keluar dari posisi terbawahnya.

Dalam bulan yang sama, pengiriman meningkat 7,9%, lebih besar dua kali lipat dari yang diharapkan setelah ekspor merosot hingga 8% pada 2016.

Selama ini, ekspor China telah tertinggal jauh dibandingkan Jepang, Korea Selatan dan Taiwan menarik pada rantai pasokan regional. Hal ini sehubungan dengan adanya peningkatan ekspor sirkuit yang naik hingga 14,5% pada bulan lalu sementara ekspor ponsel berada di angka 7,9%.

Bea Cukai China akan merilis data yang diperbarui untuk perdagangan pada 23 Februari.

“Prospek ekspor Cina yang baik, kecuali untuk potensi risiko perang dagang China dan AS. Risiko yang paling penting bagi Cina adalah apa yang administrasi Trump akan lakukan,” Jianguang Shen, kepala ekonom di Mizuho Securities di Hong Kong.

Disisi lain, pengamat ekonomi memperingatkan pemerintah China bahwa liburan panjang Tahun Baru Imlek mungkin telah mendistorsi data pada tingkat tertentu sehingga pelaku usaha meningkatkan produksinya atau menyiapkan cadangan sebelumnya libur Tahun Baru Imlek.

Namun, sebagian besar ekonom tetap sepakat tren didukung pandangan bahwa permintaan manufaktur membaik di China dan global.

Seperti yang diketahui, impor bijih besi merupakan yang tertinggi kedua dalam catatan, sementara impor minyak mentah berada diposisi ketiga. Tak hanya itu, pembelian batubara juga melonjak, untuk digunakan baik pembangkit listrik dan pembuatan baja.

“Pabrik baja benar-benar menghasilkan uang. Artinya, mereka mampu membayar untuk bijih besi lebih," kata Lachlan Shaw, analis UBS di Melbourne, menambahkan bahwa upaya pemerintah untuk mengurangi kelebihan kapasitas yang membantu tren.

Disamping itu, harga futures China untuk batang baja yang digunakan dalam konstruksi telah melonjak sekitar 80% sejak Februari 2016.

Kendati demikian, sebagian analis masih tak yakin berapa lama peningkatan harga komoditas akan bertahan mengingat pembangunan infrastruktur mulai surut.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rustam Agus
Sumber : reuters
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper