Bisnis.com, JAKARTA - Pihak swasta Basuki Hariman memberikan penjelasan terkait aliran dana diduga merupakan suap kepada hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar terkait judicial review Undang Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Menurut Basuki, seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (26/1) malam, dirinya memberi uang sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura bukan kepada Patrialis melainkan kepada Kamaludin (KM) yang diduga menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi perantara suap.
"Itu ada namanya Kamal, dia teman saya dan juga dekat dengan Pak Patrialis. Saya memberi uang kepada dia," kata Basuki.
Basuki mengatakan tujuan dari pemberian uang itu untuk keperluan umrah Kamaludin.
"Karena dia kan dekat dengan Pak Patrialis, dia minta sama saya, US$20.000 itu buat dia umrah. Dia bilang uang itu buat umrah, tetapi saya percaya uang itu buat pribadi, buat Pak Kamal sendiri. Saya dua kali memberikan, dan yang 200.000 dolar Singapura masih sama saya," katanya lagi.
Ia juga membantah ada perintah dari dirinya kepada Kamaludin (foto) untuk memberikan uang itu kepada Patrialis.
"Tidak ada, jadi selama saya bicara dengan Pak Patrialis tidak pernah dia bicara sepatah kata pun soal uang. Yang minta uang itu sebenarnya Pak Kamal. Kalau menurut saya Pak Patrialis tidak terlibat dalam hal ini," ujarnya lagi.
Namun, ia tidak membantah bahwa Kamaludin pernah menjanjikan soal perkara di MK saat pemberian uang itu.
"Ya, ini perkaranya bisa menang, gitu saja. Padahal saya tahu Pak Patrialis berjuang ya apa adanya gitu ya. Saya percaya Pak Patrialis ini tidak seperti orang yang kita dugalah hari ini. Terima uang dari saya tidak ada," kata Basuki lagi.
Basuki menyatakan dirinya tidak pernah berperkara di MK karena hanya membantu pihak dari Persatuan Pedagang Sapi terkait perkara itu.
"Hari ini kan masuknya daging India terlalu banyak. Jadi kalau mereka ada gugatan, saya coba bantu memberikan penjelasan-penjelasan kepada hakim, dalam hal ini Pak Patrialis bahwa masuknya daging India pertama merusak peternak lokal karena harganya murah sekali. Kedua juga di sana (India) masih terjangkit penyakit mulut dan kuku (PMK) jelas kok di sertifikatnya tertulis dari negara terinfektif kenapa masih tetap diimpor. Saya jelaskan kepada Pak Patrialis biar beliau mengerti," katanya lagi.
Ia pun mengakui memang kenal dengan Patrialis Akbar.
"Saya pernah ketemu di Lapangan Golf Rawamangun beberapa kali saja. Makan bersama-sama dua kali kalau tidak salah," kata dia.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitain mengungkapkan kronologis hasil penangkapan yang dilakukan KPK terkait dugaan suap terhadap hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar (PAK).
"Dugaan suap itu terkait dengan judicial review Undang Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan," kata Basaria.
Menurut Basaria setelah adanya laporan dari masyarakat akan terjadi suatu tindak pidana korupsi oleh penyelenggara negara, kemudian tim KPK ditugaskan melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Penangkapan itu, kata dia lagi, dilakukan oleh tim KPK kemudian 11 orang diamankan dalam penangkapan itu pada Rabu (25/1) sekitar pukul 10.00 sampai 21.30 WIB di tiga lokasi yang berbeda-beda di Jakarta.
"Sebanyak 11 orang itu Patrialis Akbar (PAK) hakim MK, Basuki Hariman (BHR) pihak swasta yang memberikan suap bersama-sama dengan NG Fenny (NGF) yang merupakan karyawan BHR, Kamaludin (KM) dari swasta yang menjadi perantara BHR dari swasta kepada PAK, dan tujuh orang lainnya," ujar Basaria.
Lebih lanjut Basaria mengatakan pada Rabu (25/1) KPK mengamankan KM di Lapangan Golf Rawamangun Jakarta Timur, kemudian tim bergerak ke kantor BHR di Sunter Jakarta Utara dan mengamankan BHR beserta sekretarisnya dan 6 karyawan lainnya.
"BHR ini punya sekitar 20 perusahaan yang bergerak di bidang impor daging, tetapi tidak disebutkan satu per satu di sini lalu sekitar pukul 21.30 WIB tim bergerak mengamankan PAK. Yang bersangkutan pada saat jam itu berada di pusat perbelanjaan Grand Indonesia Jakarta Pusat bersama dengan seorang wanita," katanya.
Diduga, kata Basaria, BHR memberikan janji kepada PAK terkait permohonan uji materiil UU Nomor 41 Tahun 2014 dalam rangka pengurusan perkara dimaksud.
"BHR dan NGF melakukan pendekatan kepada PAK melalui KM hal ini dilakukan BHR dan NGR agar bisnis impor daging dapat lebih lancar. Setelah melakukan pembicaraan, PAK menyanggupi membantu agar permohonan uji materiil Nomor 129/PUU-XII/2015 itu dapat dikabulkan MK," kata Basaria.
Basaria menjelaskan PAK diduga menerima hadiah 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura, dan dalam kegiatan ini tim KPK telah mengamankan dokumen pembukuan perusahaan, vocer pembelian mata uang asing, dan draf perkara nomor 129 tersebut.
"Setelah mengamankan 11 orang, KPK melakukan pemeriksaan 1x24 jam dan KPK meningkatkan status ke penyidikan dengan penetapan empat orang tersangka," kata Basaria pula.
Tersangka PAK dan KM diduga penerima disangkakan pasal 12 huruf c atau pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal itu menyebutkan mengenai hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Kemudian BHR dan NGF diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar pasal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal itu menyebutkan orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp750 juta.
"Sedangkan untuk tujuh orang lainnya yang turut diamankan saat Operasi Tangkap Tangan, saat ini masih berstatus sebagai saksi," kata Basaria lagi.