Bisnis.com, JAKARTA - Kasus tertangkapnya Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan indikasi bahwa penggunaan mekanisme kuota impor daging sapi rawan disalahgunakan.
Hal itu dipaparkan Lembaga swadaya masyarakat Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dalam keterangan tertulisanya yang dikirimkam Jumat (27/1/2017) terkait kasus tertangkapnya Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Rawannya terjadi praktik korupsi dalam sistem kuota impor menghambat terciptanya persaingan yang sehat di antara para pelaku industri. Hal ini membuat harga bahan pangan menjadi tinggi sehingga menyulitkan masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah," kata peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) di bidang Perdagangan dan Kesejahteraan Rakyat, Hizkia Respatiadi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (27/1/2017).
Untuk daging sapi, ketentuan impornya diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan 59/M-DAG/PER/8/2016. Dalam peraturan ini, yang berhak melakukan impor dibatasi hanya untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki lisensi Angka Pengenal Importir (API).
Kalaupun syarat ini sudah dipenuhi, impor yang mereka lakukan juga dibatasi oleh sistem kuota yang jumlahnya ditentukan oleh pemerintah pusat.
"Kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin agar perusahaan mereka saja yang memperoleh lisensi dan kuota tersebut," katanya.
"Meskipun sejak September 2016 sudah ada wacana dari pemerintah untuk menghapus sistem kuota, hingga saat ini wacana tersebut belum pernah disahkan di dalam peraturan resmi," ucapnya.
Studi yang tengah dijalankan CIPS menunjukkan harga per kg daging sapi di Singapura lebih murah sekitar Rp18.000 daripada yang dijual di Jakarta, padahal Singapura harus mengimpor daging sapinya dari negara lain tanpa pembatasan yang berlebihan.
Sebelumnya, pengusaha daging sapi impor Basuki Hariman mengakui memberikan uang US$20.000 dan 200.000 dolar Singapura ke orang dekat hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar bernama Kamaludin.
"Ada (uang) untuk namanya Kamal. Dia temen saya dan juga dekat dengan Pak Patrialis. Saya memberi uang kepada dia (Kamal) karena dia kan dekat dengan Pak Patrialis. Dia minta sama saya, US$20.000 itu buat dia umroh," kata Basuki usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK Jakarta, Jumat (27/1/2017) dini hari.
KPK menetapkan Patrialis Akbar sebagai tersangka penerima suap kasus dugaan suap kepada hakim MK terkait dengan uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Ia diduga menerima US$20.000 dan 200.000 dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman melalui Kamaludin.
Basuki mengakui ia pernah dijanjikan Kamal bahwa perkara uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan di MK akan memenangkan pihaknya. Uji materi itu diajukan oleh peternak sapi dan perkumpulan peternak sapi perah Indonesia yang merasa dirugikan dengan sangat bebasnya importasi daging segar.
KPK menetapkan Patrialis Akbar sebagai tersangka kasus dugaan suap kepada hakim MK terkait dengan uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan.
Patrialis diduga menerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar US$20.000 dan 200.000 dolar Singapura (sekitar Rp2,1 miliar) dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman.
Patrialis diamankan petugas KPK pada Kamis (26/1) di pusat perbelanjaan Grand Indonesia Jakarta bersama dengan seorang perempuan.