Bisnis.com, JAKARTA—Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman sebagai tersangka tindak pidana suap.
Irman merupakan anggota DPD yang pertama kali dibidik oleh KPK setelah sebelumnya sel penjara KPK selalu penuh diisi oleh para anggota DPR. Dengan tercorengnya nama DPD karena Irman, maka publik tentu mulai kehilangan kepercayaannya kepada lembaga parlemen yang nyaris dianggap bersih dari tindak pidana korupsi maupun suap.
Melihat kondisi itu tentu saat ini Indonesia telah memasuki tahap darurat korupsi. Oleh karena itu, perlu ada penanganan untuk mencegah naiknya tingkat darurat korupsi tersebut. Pengamat Indonesia Corruption Watch Febri Hendri memandang darurat korupsi itu bisa diatasi dengan pencegahan dari pangkal permasalahan.
“Itu kan sebenarnya bisa diatasi dari hulu, seperti para caleg yang mau nyalon jangan terlalu banyak, itu bisa dilakukan kalau mera sudah lama dekat dengan rakyat. Ya misalkan mereka sudah membantu banyak masyarakat, sehingga ketika mereka kampanye gak perlu banyak uang,” ujar Febri.
Tak hanya itu, ICW memandang kasus yang melibatkan Komisaris MNC ini berkaitan dengan jual beli pengaruh. Bagi ICW, meski DPD tidak memiliki kewenangan namun pengaruh politik yang dimiliki oleh Irman merupakan salah satu peluang yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan tindak pidana suap.
Sementara itu, pengamat Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Lucius Karus menegaskan DPD perlu mengambil langkah cepat untuk memecat Irman dari jabatannya maupun dari keanggotaannya. Hal tersebut dimaksudkan agar DPD bisa mengembalikan kepercayaan publik terutama kepercayaan dari para konstituennya/ daerah pemilihannya.
“Gak usah bertele-tele seperti DPR, ketika sudah ditetapkan sebagai tersangka ya sudah langsung aja dipecat,” tukas Lucius.
Sebelumnya, KPK menangkap Irman bersama Direktur CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto, istri Xaveriandy, yaitu Memi, dan adik Xaveriandy, yaitu Willy Sutanto. Penyidik KPK juga mengamankan uang Rp 100 juta yang dibungkus plastik berwarna putih. Uang tersebut diduga merupakan suap dari Xaveriandy kepada Irman untuk pengurusan kuota gula impor yang diberikan Bulog.
Berdasarkan gelar perkara yang dilakukan pimpinan KPK dan penyidik, Irman, Xaveriandy, dan Memi ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara suap ini. Semula, KPK menangani perkara lain milik Xaveriandy, yaitu penangkapan 30 ton gula pasir tanpa label Standar Nasional Indonesia (SNI) yang tengah berjalan di Pengadilan Negeri Padang.
Dalam perkara tersebut, KPK pun menetapkan Xaveriandy sebagai tersangka karena diduga memberi suap Rp 365 juta kepada Farizal, jaksa dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.