Kabar24.com, JAKARTA – Indonesia sudah lama menjadi tempat transit para pencari suaka (asylum seeker). Sebagian besar para pencari suaka itu berasal dari negara-negara yang sedang berkonflik.
Tak ayal, sebagai sebuah negara transit, ada sejumlah persoalan yang musti ditangani pemerintah, terutama terkait dengan penanganan para pencari suaka tersebut.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mencatat ada sekitar 13.000 pencari suaka/ pengungsi. Mereka tersebar di sejumlah community house dan rumah detensi di penjuru daerah.
Berbagai persoalan pun mulai muncul dari kelebihan kapasitas hingga minimnya fasilitas yang diberikan kepada para pengungsi. Sejumlah pimpinan daerah juga mulai mengeluhkan prilaku para pengungsi.
Data dari United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR) sebuah lembaga yang diberi mandat untuk melindungi dan penyelesaian pengungsi menujukkan hingga Januari 2016 ada sekitar 7. 169 pencari suaka. Sebagian besar pengungsi merupakan warga negara Afghanistan yakni sekitar 50%, Somalia 10%, dan Myanmar sebanyak 5%.
Dalam laporan tren global tahunan UNHCR 2015, wilayah Asia Pasifik menyumbang kurang lebih 1/6 jumlah pengungsi dunia. Dalam catatan tahunan tersebut, Indonesia disebut menampung 13.700 pencari suaka.
Kondisi itu tentu menjadi tantangan bagi Indonesia. Salah satu tujuan para pencari suaka itu adalah ke Australia. Hanya saja, ada sejumlah ganjalan, kebijakan pemerintah Australia saat ini sangat ketat untuk para pencari suaka. Kondisi itu sempat membuat hubungan antara Indonesia dengan negeri kanguru itu merenggang. Beberapa kali dua negara sering terlibat dalam perdebatan terkait penangangan pengungsi tersebut.
Satu kasus yang menjadi pasang menandakan pasang surut hubungan kedua negara itu terjadi pada masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Saat itu, mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Tedjo Edhy Purdijatno mengancam akan membuka keran pencari suaka ke Australia.
Salah satu kalimat yang populer kala itu adalah “tsunami manusia.” Karena itu untuk mencegah terjadinya konflik antara dua negara, pemerintah Indonesia tengah berkoordinasi dengan pemerintah Australia untuk menangani krisis pencari suaka.
Selasa kemarin, Menkumham Yasonna H. Laoly dengan Menteri Kehakiman (Minister of Justice) Australia Michael Keenan. Pertemuan itu membahas soal perkembangan penanganan pengungsi (keimigrasia) hingga persoalan terorisme.
Yasonna, yang menjadi tuan rumah pertemuan tersebut menjelaskan, pertemuan itu merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya. Mereka sepakat untuk mempererat kerjasama dalam penanganan pengungsi tersebut. Tempat penampungan pencari suaka seperti di community house dan rumah detensi sudah overkapasitas. Karena itu, mereka bekerjasama dengan pemerintah Australia untuk membahas soal masa depan penangangan pengungsi ke depan.
Kondisi itu bukan dianggap remeh, kata dia, jika penangangan pengungsi tidak ditindaklanjuti bakal menjadi masalah bagi kedua negara. “Karena itu tadi, kami meminta bantuan kepada mereka (Australia) untuk membantu kita menangani masalah tersebut,” ujarnya di Jakarta, Selasa (9/8).
Dia berharap, kerjasama antara kedua negara dapat membantu mengatasi permasalahan, terutama overkapasitas rumah detensi bagi para pencari suaka.
Menteri Kehakiman Australia Michael Keenan memaparkan, dalam perkara itu mereka menginginkan supaya kerjsama tersebut membuat semakin erat hubungan kedua negara. Tak hanya terkait dengan imigrasi saja, tetapi juga terkait dengan perkara-perkara lainnya salah satunya pemberantasan terorisme dan penegakan hukum.