Kabar24.com, JAKARTA - Inggris akan memerintahkan peninjauan ulang tindak pengamanan pelaku kekerasan berlatar kebencian atau rasis oleh polisi menyusul tajamnya peningkatan pelanggaran pasca menangnya opsi Brexit dalam referendum Inggris 23 Juni lalu.
Sejak 23 Juni terdapat 6,200 laporan kejahatan rasial di Inggris yang menganggap imigrasi menjadi isu kunci dalam kampanye referendum yang panjang dan berlansung penuh kepahitan.
Kejahatan yang paling umum terjadi adalah pelecehan, penyerangan, dan tindak kekerasan lainnya seperti pelecehan verbal, atau aksi meludah. Sementara itu, para penduduk Muslim dan warga dari Eropa Timur mengatakan bahwa mereka menjadi target utama.
“Mereka yang mengamalkan kebencian menyampaikan pesan bahwa melecehkan atau menyerang orang lain dengan alasan kewarganegaran, etnis, atau agama adalah hal yang sah,”sebut Amber Rudd, Menteri Dalam Negeri Inggrsi seperti dikutip dari Reuters, Selasa (26/7/2016).
Para kritikus Brexit mengatakan pihaknya akan fokus terhadap isu yang menjadi faktor pendukung meningkatnya xenophobia atau rasisme.
Beberapah hari setelah referendum, Kedutaan Besar Polandia di London mengatakan pihaknya sangat khawatir dengan insiden kekerasan berlatar xenophobia yang menimpa komunitas penduduknya.
Rudd akan mengumumkan rencana untuk menugaskan komisi pengawas independen Inggris dari kepolisian untuk meninjau ulang pengetahuan polisi akan kejahatan rasial dan bagaimana mereka harus merespon hal tersebut.
Dalam rencana tersebut juga akan ada kerja sama dengan sekolah untuk menangkal kebencian dan preaduga serta memastikan pelaporan lebih maksimal mengenai kejadian kriminal rasial serta mencari tahu bagaimana mencegah hal tersebut di sarana transportasi umum.
“Kami tidak akan membiarkan hal ini. Tidak ada tempat untuk kebencian di Inggris Raya di abad 21 ini dan kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk membasminya,” katanya.
Pemerintan akan menyediakan dana 2,4 juta poundtserling (US$3.14 juta) untuk mengakomodasi tindakan keamanan dn peralatan.