Kabar24.com, JAKARTA— Inggris akan memiliki seorang Perdana Menteri wanita untuk kedua kalinya dalam sejarah setelah Margaret Thatcher, tetapi politisi bergender wanita dinilai masih jauh dari kesetaraan dengan adanya sejumlah pelecehan di dunia maya, objektifikasi dan kebencian terhadap kaum wanita (misogyny) yang mengisi posisi perpolitikan di Inggris.
Menteri Dalam Negeri Theresa May merupakan pengganti David Cameron sebagai perdana menteri setelah Cameron mengumumkan pengunduran dirinya pasca kemenangan Brexit.
Sam Smethers Chief Executive Fawcett Society mengatakan kendati penunjukan May merupakan sebuah langkah besar, merealisasikan kesetaraan bagi politisi wanita masih menjadi sebuah tantangan.
“Masih ada jalan panjang yang harus ditempuh sebelum politisi wanita diberi kesempatan yang adil,” kata Smethers seperti dikutip dari Reuters, Rabu (13/7/2016).
Saat ini, hanya 29% posisi parlemen Inggris diduduki oleh wanita. Inggris berada di urutan ke 39 dalam daftar negara-negara yang memberi posisi keparlemenan bagi wanita menyusul Rwanda, Bolivia, dan Cuba.
Smethers mengatakan bahwa dia kecewa dengan laporan media yang lebih fokus pada sepatu hak tinggi dan gender May dibandingkan dengan kemampuan politiknya sebagai perdana menteri yang akan menangani proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Sikap media yang fokus terhadap gender May ketimbang kemampuannya telah mengundang sejumlah kritik di media sosial seperti Twitter dan Facebook.
Campaigner Laura Bates, who runs the Everyday Sexism website, wrote in an opinion piece: "This kind of meaningless, sexist commentary takes valuable attention away from what we should be concentrating on."
“Komentar tidak berarti yang bernada seksis telah menenggelamkan hal yang lebih bermakna yang seharusnya menjadi fokus kita,” kata Laura Bates, aktifis kampanye yang mengelola situs Everyday Sexism dalam sebuah opini.