Kabar24.com, JAKARTA - Upaya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengadvokasi saksi korban tindak pidana perdagangan manusia di Benjina, Maluku, mendapat perhatian komunitas internasional.
Salah satunyaGlobal Fund to End Slavery(GFES) yang berkunjung ke kantor LPSK untuk bertukar informasi mengenai penanganan korban perdagangan manusia.
Menurut Direktur GFES wilayah Asia Mark B Taylor, banyak masalah perbudakan yang terjadi belahan dunia. GFES memulainya dari Asia, khususnya di tiga negara, yaitu Filipina, Myanmar dan Indonesia.
"Kasus perbudakan modern banyak terjadi di tiga negara ini dan kasusnya pun cukup kompleks," kata Mark saat berdiskusi dengan Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai beserta jajaran di kantor LPSK, Jakarta, Jumat (18/3/2016).
Mark menuturkan Indonesia menjadi salah satu negara yang dipilih karena selain rawan perdagangan manusia, pemerintahnya juga gencar melakukan pemberantasan praktik kejahatan tersebut.
Pada diskusi tersebut, Mark mengemukakan ada tiga hal untuk melawan upaya perbudakan modern.Pertama, dari aspek hukum yakni terkait aturan tentang buruh migran baik dari sisi administrasi maupun sistemnya, termasuk dimana dugaan perdagangan manusia terjadi.
Hal selanjutnyayakni melakukan kerja sama dengan dunia bisnis. Karena banyak anggapan, tindak pidana perdagangan manusia bagian bisnis sehingga untuk melawannya juga perlu dilakukan melalui bisnis.
Terakhir yakni masalah kebebasan ekonomi mengingat buruh juga menginginkan hidup yang lebih layak. "Upaya melawan perbudakan penting tidak hanya bagi mereka yang sudah jadi korban, tetapi juga bagi masyarakat lain yang berpotensi menjadi korban," ujar dia.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, LPSK hadir sebagai amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang kemudian disempurnakan melalui hadirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Dari perubahan itulah, LPSK diamanahi untuk fokus pada tindak pidana prioritas, di mana salah satunya tindak pidana perdagangan manusia."
Menurut Semendawai, Benjina merupakan kasus pertama perdagangan orang yang pelakunya berhasil diseret ke persidangan di era Presiden Jokowi.
Khusus dalam perlawanan terhadap kasus perbudakan modern, kata Semendawai, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
LPSK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, khususnya dalam penanganan tindak pidana perdagangan manusia bekerja sama dengan sejumlah kementerian terkait, termasuk sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang fokus dengan permasalahan ini.
"Indonesia sudah punya undang-undang khusus tentang pidana perdagangan orang. Kini, tinggal kemauan aparat untuk mengungkap kasusnya," tutur dia.