Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

US-ASEAN SUMMIT: Presiden Tawarkan 2 Pendekatan Tangani Terorisme

Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya pendekatan hard power dan soft power dalam penanganan radikalisme dan terorisme.
Presiden Joko Widodo dan Presiden AS Barack Obama di acara US-Asean Summit di Rancho Mirage, California, Senin (15/2/2016)./Reuters-Kevin Lamarque
Presiden Joko Widodo dan Presiden AS Barack Obama di acara US-Asean Summit di Rancho Mirage, California, Senin (15/2/2016)./Reuters-Kevin Lamarque

Kabar24.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya pendekatan hard power dan soft power dalam penanganan radikalisme dan terorisme.

Dalam salah satu sesi dalam Reatreat II ASEAN-US Summit 2016, Selasa (16/2/2016) waktu California, AS, Presiden Joko Widodo diminta untuk menjadi pembicara pertama dalam diskusi tentang counter terorism.

Menurut Presiden, ancaman bom di Jakarta mengingatkan pentingnya kerja sama dalam tiga hal, yakni mempromosikan toleransi, memberantas terorisme dan ekstrimisme, serta mengatasi akar masalah dan menciptakan suasana kondusif terhadap terorisme. Kombinasi penggunaan hard power dan soft power dibutuhkan dalam mengatasi ekstrimisme.

Terkait pendekatan hard power, Indonesia tengah mengkaji ulang Undang-undang Terorisme. Ini dimaksudkan untuk penguatan payung hukum dalam menghadapi terorisme.

“Penguatan legislasi ini, tentunya dilakukan dengan mempertimbangkan penghormatan terhadap hak asasi manusia”, ucap Presiden dalam keterangan resmi yang dikutip, Rabu (17/2/2016).

Pada waktu bersamaan, lanjut Presiden, pendekatan soft power juga diperkuat. Caranya dengan melakukan pendekatan agama dan kebudayaan, melibatkan masyarakat, melibatkan organisasi masyarakat dan keagamaan.

Diversifikasi pendekatan deradikalisasi dan kontra radikalisasi juga dilakukan melalui program rehabilitasi narapidana teroris serta program penerimaan kembali (reintegrasi) di masyarakat.

Mengenai Foreign Terorist Fighters (FTF), Jokowi mengemukakan bahwa hampir semua negara menghadapi masalah yang sama, dimana ada warga negaranya yang bergabung dengan FTF.

Jumlah warga negara Indonesia (WNI) yang ada di Suriah sebanyak 329 orang, kata Presiden, adalah jumlah yang relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 252 juta.

Berdasarkan analisis media, faktor utama relatif kecilnya penduduk Indonesia yang bergabung FTF adalah karena Indonesia tidak memiliki pemerintah yang represif, tidak dalam pendudukan, serta kondisi politik yang relatif stabil.

“Dari analisis tersebut, dapat ditarik pelajaran bahwa untuk memerangi terorisme dan mengurangi FTF diperlukan kestabilan politik, pemerintah yang demokratis, serta tidak dalam pendudukan asing," lanjutnya.

Sebagai penutup, Presiden menyampaikan gagasannya untuk memanfaatkan media sosial dalam menghadapi ekstrimis dan teroris. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa penyebaran paham ekstrimis dan ajakan bergabung dengan FTF banyak dilakukan melalui media sosial.

“Oleh karena itu, kita harus bekerja sama dengan media sosial dalam menyebarkan perdamaian dan toleransi sebagai counter narasi. Saya mengajak agar Yang Mulia berkenan bergabung dengan saya untuk memperbanyak narasi melalui media sosial mengenai moderasi, toleransi, dan perdamaian,” kata Presiden.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Arys Aditya

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper