Kabar24.com, JAKARTA— Indonesia memiliki sedikitnya 2.498 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk di antaranya kekerasan atas nama agama, selama 9 tahun terakhir tanpa ada kerangka besar penyelesaian dari pemerintah hingga kini.
Hal itu tercantum dalam Laporan Kebebasan/Berkeyakinan di Indonesia 2015 yang diluncurkan Setara Institute, Senin (18/1/2016). Lembaga itu juga menyatakan kekerasan agama, yang dipicu salah satunya oleh intoleransi, dapat berubah menjadi terorisme sebagai bentuk paling akhir.
Peneliti Setara Institute Halili mengungkapkan, secara kumulatif terjadi 1. 867 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Dalam ribuan peristiwa itu, terdapat 2.498 pelanggaran dalam 9 tahun terakhir.
Riset itu mencatat terdapat lebih dari 17 kali peristiwa atau hampir 6 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan per minggu. Sepanjang tahun lalu, Setara mencatat tindakan dengan jumlah tertinggi dari aktor non-negara adalah intoleransi (33); penyesatan (22); penyebaran kebencian (19); perusakan (13); dan penutupan ibadah (10).
Sedangkan, dari aktor negara, riset itu menyatakan tindakan tertinggi berasal dari pemaksaan keyakinan (31); kriminalisasi keyakinan (9); diskriminasi (9); perobohan tempat ibadah (6) dan pernyataan provokatif pejabat (6).
"Intoleransi adalah awal mula dari terorisme, dan terorisme adalah puncak dari intoleransi. Membiarkan intoleransi sesungguhnya sama dengan merawat bibit-bibit terorisme," kata Halili dalam keterangannya yang dikutip Bisnis.com, Selasa (19/1/2016).
Dia menuturkan, intoleransi, diskriminasi dan kekerasan selama ini belum mendapatkan penanganan dari otoritas negara. Selama 9 tahun terakhir, riset itu juga mencatat terdapat 346 tempat ibadah mengalami gangguan di antaranya adalah 22 tempat ibadah aliran kepercayaan; 180 gereja; 3 klenteng; 121 masjid aliran minoritas; 1 sinagog; 5 pura dan 14 vihara.
Setara menemukan sepanjang tahun lalu, pemerintah daerah menjadi aktor terbesar dalam melakukan tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Para aktor itu adalah pemerintah daerah (33 tindakan); kepolisian (16 tindakan); dan Satpol PP (15 tindakan).
"Di tingkat pemerintah daerah, Nawa Cita nyaris tidak berpengaruh terhadap perbaikan lokal untuk memberikan jaminan kebebasan berkeyakinan," kata Halili lagi.