Sarifudin baru saja pulang dari ladang saat kami bertemu. Sebilah parang masih tergantung di sepeda motornya. Bersama istri dan keponakannya dia menempati rumah panggung sederhana. Sarifudin tidak memiliki anak. Jadi dia membesarkan anak-anak dari keluarganya yang lain.
Sepiring pisang goreng dihidangkan di ruang tamu. Namun yang paling menarik perhatian adalah sekeranjang mangga yang harumnya menggugah selera. Mangga ini di tanam di kebun tidak jauh dari rumahnya. “Dulu saya juga menanam coklat dan pisang,” katanya memulai cerita. “Tetapi kena penyakit,”.
Sarifudin berperawakan sedang. Kulitnya hitam dengan potongan rambut cepak khas tentara. Pria ini umurnya sudah 69 tahun. Namun tubuhnya masih terlihat bugar dengan otot yang menonjol. Pekerjaan di ladang juga masih dilakoninya setiap hari.
Rumah panggungnya memang dikelilingi kebun aneka rupa. Hanya ada beberapa petak rumah yang menjadi tetangga. Di halaman depan lahan kosong terhampar. Di ujung sana baru ada kebun jagung, pisang, singkong dan aneka palawija. Pohon kelapa satu dua terlihat menjulang. Tepat di belakang rumahnya Sarifudin menanam kelapa sawit. Komoditas yang baru diminatinya 2 tahun terakhir.
Wilayah yang ditempati Sarifudin merupakan lahan yang subur. Orang-orang menyebutnya Kampung Santan. Secara administratif masuk dalam wilayah Kecamatan Marangkayu, Kutai Kartanegara. Lebih dari setengah abad lalu Kesultanan Kutai memberikan wilayah ini kepada para pendatang dari Bugis. Penamaan Kampung Santan mengacu pada sebutan sungai yang mengalir tepat di belakang rumah Sarifudin. Kini ada tiga desa yang menyandang nama Santan. Desa Santan Ulu, Santan Tengah, dan Santan Ilir.
Tuhan sepertinya memang sedang tersenyum ketika menciptakan DAS Sungai Santan. Tidak hanya dianugrahi tanah yang subur, perut buminya pun menyimpan cadangan migas dan batu bara yang melimpah. Dua perusahaan migas skala besar beroperasi di wilayah ini. Chevron dan dan Virginia Indonesia Company (VICO) Indonesia. Jalur pipa milik Vico bahkan mengalir tepat di depan rumah Sarifudin. Adapun di hulu sungai, PT Indominco Mandiri menambang batu baranya sejak 1997.
Beberapa tahun lalu Sarifudin sempat merasakan jeruji besi ketika berurusan dengan Vico. Saat itu perusahaan hendak memperbaiki jalur pipa yang melintasi Sungai Santan. “Tanpa ada komunikasi ke masyarakat mereka tiba-tiba membawa pasir dan semen ke sungai,” kisahnya. “Kami menegur baik-baik tetapi malah dilaporkan ke poslisi,”.
Sembilan orang intel menciduknya kala itu. Bersama seorang keponakannya mereka diinapkan di penjara Polres Tenggarong selama 12 hari. Sarifudin mengaku tidak menyesal. Sungai Santan adalah identitasnya. Kepada sungai inilah kehidupan seluruh warga Kampung Santan bergantung. Sungai ini merupakan sumber air utama. Warga menggunakannya untuk mandi, mencuci, memasak, bahkan untuk minum.
“Kalau ada yang mengusik Sungai Santan kami pasti melawan,” tegasnya.
Bagi Sarifudin, Sungai Santan menyimpan sejarah desa yang tak bisa tergantikan. Masih jelas tergambar dalam memorinya ketika jalan darat belum sepenuhnya terhubung. Masyarakat mengarungi Sungai Santan untuk menjual hasil kebun. Pisang, singkong, padi, dan kelapa diangkut menggunakan kapal dayung ke Bontang atau Samarinda. Menuju ibukota saat itu waktu tempuhnya mencapai waktu 2 pekan.
Saat jalan darat mulai terhubung, transportasi sungai perlahan mulai di tinggalkan. Teknologi juga semakin modern. Warga sekitar kini menggunakan ketinting—perahu kecil bermotor—untuk melewati Sungai Santan menuju kebun di bagian hulu. Beberapa daerah memang lebih mudah dijangkau melalui sungai ketimbang jalur darat.
Membicarakan Kampung Santan rasanya tidak akan terlepas dari komoditas kelapa. Di Desa Santan Tengah, pohon kelapa bisa dengan mudah ditemukan di halaman atau belakang rumah. Dari desa ini saja setidaknya 3.000 butir kelapa di distribusikan ke seluruh Kalimantan Timur setiap hari. Kecamatan Marangkayu merupakan sentra penghasil kelapa di provinsi ini. Kampung Santan adalah salah satu pemasoknya.
Data Badan Pusat Statistik Kalimantan Timur menyebutkan luas kebun kelapa di Kutai Kartanegara mencapai 11.344 hektar atau yang terluas di antara kabupaten/kota lainnya. Selain di Marangkau, sentra kelapa di Kukar juga terdapat di Muara Jawa, dan Samboja.
PENCEMARAN SUNGAI
Kantor Desa Santan Ulu terletak tepat di kilo 24 poros Bontang-Samarinda. Namun wilayahnya tersebar luas hingga ke dalam kebun di sekitar sungai. Saya didampingi tiga orang aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menuju ke sana dari Desa Santan Tengah. Jaraknya sekitar 17 kilometer dengan waktu tempuh hampir satu jam. Aksesnya di dominasi jalan tanah. Sebagian berbatu, hanya sedikit yang sudah di beton. Di musim penghujan, jalan mustahil di lewati sehingga warga harus memutar dengan jarak dua kali lipat.
Kepala Desa Santan Ulu tidak berada di tempat saat saya berkunjung. Sebagai gantinya, saya bertemu dengan sekretaris desa, Yusuf. Bersama dengan seorang staf-nya bernama Zulkifli kami membicarakan persoalan yang menjadi keluhan warga beberapa bulan terakhir. Pencemaran sungai.
Zulkifli mengenakan kemeja biru siang itu. Dia bercerita dengan lantang. Sesekali, tangannya sigap membetulkan letak topi di kepalanya. “Sehari-hari saya bantu-bantu di kantor desa ini,” katanya. Zulkifli tinggal di rt 004 Desa Santan Ulu. Rumahnya terletak tepat di bibir Sungai Santan dengan kebun sayur yang tidak seberapa luas. Hubungannya dengan air sungai tidak bisa lagi dipisahkan.
Beberapa bulan terakhir, musim kemarau membuat aliran Sungai Santan menyusut sampai setengahnya. Ketinting dibiarkan tertambat berminggu-minggu karena sungai tidak bisa lagi dilewati. Akses menuju kebun di hulu biasanya hanya 30 menit menggunakan kapal tersebut. Kini warga harus berjalan kaki selama hampir 2 jam.
Namun, bukan itu masalah utamanya. Sekitar Oktober, beberapa warga menemukan ikan-ikan mati di bantaran sungai. Kejadian tersebut berlangsung berhari-hari. Awalnya hanya ikan-kecil. Lambat laun, ikan-akan besar juga turut bergelimpangan. Menurut Zulkifli, ini bukan kejadian biasa. Beberapa kabar bahkan menyebutkan aktivitas buaya di hilir sungai mulai menunjukkan anomali karena kondisi sungai tidak seperti biasa.
Pernyataan Zulkifli juga diperkuat oleh Sarifudin yang sudah lebih dari setengah abad memanfaatkan Sungai Santan. Awal Oktober lalu dia bahkan sempat mengangkat berkarung-karung ikan mati di sungai. “Selama saya hidup tidak pernah ada kejadian seperti ini,” tuturnya.
Warga yang sehari-hari menggunakan air sungai mulai gelisah. Zulkifli menceritakan banyak warga yang mengeluhkan air terasa masam dan lengket. Aktivitas mandi pun terasa berbeda. Warna air berubah-ubah. Terkadang hijau di pagi hari lantas menjadi kuning kecoklatan pada sorenya. Warga tidak lagi berani menggunakan air sungai untuk di minum. Ironisnya, Kampung Santan juga belum terlayani air bersih dari PDAM. Sejak sungai tercemar, warga terpaksa membeli air dengan harga Rp75.000 per tandon ukuran 1.000 liter. “Di keluarga saya air itu hanya cukup untuk dua minggu,” keluh Zulkifli.
Keluhan soal perubahan kualitas air sungai semakin bertambah dari hari ke hari. Waluyo dan Agus Purwanto, dua orang petani dari Desa Santan Ulu melaporkan fakta yang lebih mengagetkan. Tanaman cabai dan mentimun yang mereka siram menggunakan air Sungai Santan justru mendadak mati. Padahal, tanaman sejenis yang disiram menggunakan air sumur tetap hidup seperti biasa.
Sungai Santan yang selama ini menjadi penghidupan masyarakat tiba-tiba menjadi menakutkan.
Pada 28 Oktober 2015, Kepala Desa Santan Ulu melayangkan surat resmi kepada Gubernur Kalimantan Timur dan sejumlah instansi terkait. Dalam surat tersebut, warga meminta kepada Badan Lingkungan Hidup untuk meneliti kondisi air sungai tersebut.
Perbincangan soal kondisi air Sungai Santan semakin ramai ketika Baharuddin Demmu, anggota DPRD Kalimantan Timur dari Fraksi PAN, mengunggah foto-foto ikan mati di laman Facebook miliknya pada 8 November 2015. Demmu, begitu dia biasa disapa, merupakan mantan koordinator Jatam Kaltim sekaligus putera daerah Marangkayu.
Dalam foto tersebut dia secara khusus meminta Riza Indra Riadi, Kepala BLH Kalimantan Timur, turun ke lapangan. Riza menyanggupinya.
Janji Riza terealisasi keesokan harinya. Tim BLH provinsi didampingi perangkat desa melakukan uji sampling air di beberapa titik. Hasilnya, Sungai Santan diprediksi mengalami apa yang disebut sebagai blooming algae. Ini adalah kondisi ketika terjadi ledakan populasi algae di perairan akibat perubahan kondisi lingkungan. Secara kasat mata, fenomena ini akan mengakibatkan perairan berubah warna tergantung jenis algae yang ada.
Blooming algae sebenarnya jamak terjadi di berbagai perairan. Belum lama ini hal serupa juga terjadi di Sungai Segah, Berau. Namun, hasil penelitian BLH provinsi ini nampaknya tidak dterima begitu saja oleh masyarakat.
Alham, Kepala BPD Desa Santan Ulu, menolak mentah-mentah hasil penelitian tersebut. Dia bahkan mencurigai pencemaran ini berkaitan dengan aktivitas pertambangan PT Indominco Mandiri. “Ikan-ikan di hulu sungai yang jauh dari aktivitas pertambangan tidak ada yang mati. Kenapa di hilir banyak yang mati?,” tanyanya.
Entah berkaitan atau tidak, PPNS dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap tangan PT Indominco Mandiri melakukan pembuangan limbah berbahaya (B3) tanpa izin pada 25 November 2015. Volumenya hampir 5.000 ton. Ini adalah jenis fly ash yang dihasilkan dari aktivitas PLTU Indominco yang berkapasitas 2 X 7 MW.
Saat saya melintasi PLTU tersebut awal Desember lalu, garis polisi masih terlihat melingkupi tempat kejadian perkara.
Rully Dharmadi, Aktivis Jatam Kaltim, punya pendapat serupa. Dia bahkan mempertanyakan metodologi penelitian yang dilakukan tim BLH. “Mereka melakukan sampling tidak lama setelah hujan turun. Itu kesalahan dasar,” katanya. “Hujan akan melarutkan aliran sungai sehingga tidak memenuhi syarat untuk melakukan uji sampling air.
Dalam hasil laporan tersebut, Tim BLH memang menyebutkan hulu sungai diguyur hujan dalam intensitas sedang sebelum sampling di lakukan.
Dalam bahasa Rully, penelitian ini terlalu polos. Tim BLH tidak mempertimbangkan aktivitas pertambangan yang berada di DAS Sungai Santan. “Terlalu dini untuk menyebut keterlibatan perusahaan dalam pencemaran sungai. Tetapi kami akan melakukan uji sampling tandingan,” tambahnya.
ANCAMAN PERTAMBANGAN
Tidak jauh dari lokasi DAS Sungai Santan, beberapa perusahaan batu bara beroperasi. Namun yang terbesar adalah PT Indominco Mandri. Perusahaan Ini merupakan pemegang konsesi perjanjian pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) di Kalimantan Timur sejak 1997. Anak usaha PT Indo Tambang Raya Megah Tbk. ini beroperasi di tiga kecamatan. Teluk Pandan di Kabupaten Kutai Timur, Marangkayu di Kutai Kartanegara, dan Bontang Selatan. Luas wilayahnya mencapai 25.121 hektar.
Kendati industri batu bara sedang lesu, Indominco justru berencana meningkatkan produksi dari 16 juta metrik ton per tahun menjadi 19 juta metrik ton per tahun. Ini terkonfirmasi dari dokumen analisis dampak lingkungan (amdal) setebal lebih dari 1.000 lembar yang di dapatkan Bisnis. Rencana peningkatan produksi inilah yang menjadi bola panas saat ini.
Yusuf si Sekretaris Desa masih mengingat betul pertemuan di Balikpapan beberapa waktu lalu. Dia dan sejumlah perwakilan tiga Desa Santan menghadiri rapat Komisi Penilai Amdal PT Indominco Mandiri. Pertemuan tersebut membahas dokumen amdal yang diajukan perusahan.
“Saya kaget karena waktu rapat itu baru tahu kalau Sungai Santan akan dialihkan alirannya untuk di tambang,” katanya.
Rencana pemindahan alur Sungai Santan merupakan konsekuensi dari peningkatan produksi. Di halaman I-22 dokumen amdal disebutkan “Salah satu upaya peningkatan produksi batubara adalah kegiatan pengalihan sungai di 3 (tiga) lokasi,”. Adapun sungai yang dimaksud adalah Sungai Santan, Sungai Kare, dan Sungai Pelakan.
Sungai Santan yang menjadi urat nadi warga di 3 desa akan dialihkan alirannya sepanjang 7,183 kilometer. Adapun Sungai Kare panjang segmen yang dialihkan mencapai 1,43 kilometer.
“Apa reaksi bapak ketika tahu Sungai Santan akan dialihkan,” tanya saya kepada Yusuf siang itu.
“Kami merasa tertipu,” jawabnya. “Sebelumnya Pak Nasution [Vice President Indominco] bilang kalau Sungai Santan akan diperbaiki kondisinya, bukan dialihkan,”.
Pada akhir September, M. Nasution sempat membantah rencana pengalihan alur sungai. Dia berkeras bahwa yang diupayakan perusahaan adalah melakukan normalisasi sehingga fungsi berjalan maksimal. “Misalnya yang dangkal kami keruk, yang berbelok-belok diluruskan, yang sempit dilebarkan,” katanya.
Mari kita tengok dokumen amdal perusahaan. Dalam dokumen tersebut dijelaskan areal pertambangan Indominco terbagi dalam dua blok. Blok barat seluas 18.100 hektar dan blok timur seluas 7.021 hektar. Adapun luas pit alias bukaan tambang batu bara yang aktif saat ini masing-masing 4.860,77 hektar di blok barat dan 877,3 hektar di blok timur. Dalam rencana peningkatan produksi, Indominco bakal membuka pit baru seluas 3.564,55 hektar di blok barat dan 1.492,90 hektar di blok timur.
Indominco sendiri memprediksi terdapat 33 pit potensial, di mana 23 di antaranya masuk dalam areal blok barat. Aliran Sungai Santan yang akan dialihkan masuk dalam salah satu pit tersebut. Jika sesuai jadwal pit Santan mulai di tambang pada 2015-2020. Sungai Kare masuk dalam wilayah pit U 1C, sedangkan Sungai Pelakan masuk dalam pit 3B di blok timur.
Jika mengacu pada dokumen amdal yang diajukan perusahaan, pengalihan tiga sungai memang dimaksudkan untuk eksploitasi pertambangan. Perusahaan juga mengakui sebagian batu bara di blok barat memiliki kadar sulfur yang sangat rendah (kurang dari 0.3%) sehingga memenuhi spesifikasi yang diperlukan pasar.
Jika saat ini saja kondisi Sungai Santan sudah demikian tercemar, bagaimana setelah aliran sungai direlokasi untuk kepentingan pertambangan?
Pertanyaan itulah yang terus hinggap di kepala Romiansyah. Dia adalah mahasiswa Universitas Mulawarman yang tinggal di Desa Santan Ilir. Rambut gondrongnya hampir selalu dikuncir. Di kalangan kampus dia di kenal dengan sapaan Nebo.
Kabar rencana pengalihan Sungai Santan membuat Nebo geram. Dia dan sejumlah mahasiswa lainnya beberapa kali melakukan demonstrasi di pemerintah provinsi. Mereka menyebutnya Himpunan Mahasiswa Kecamatan Marangkayu. Adi Rahman, salah satu mahasiswa, rela mandi lumpur di depan Kantor Gubernur pada 22 Oktober lalu dalam protes tersebut.
Di tanah kelahirannya, para mahasiswa ini mengadvokasi warga sekitar. Pertemuan demi pertemuan di adakan di masjid. 400 tanda tangan dari perwakilan warga berhasil di kumpulkan. Spanduk penolakan atas rencana Indominco dibentangkan. Mappa, Guru SD di Santan Tengah, turut mengajak muridnya berkampanye soal Sungai Santan.
Isu kerusakan lingkungan menjadi hal yang lumrah diperbincangkan di rumah-rumah Kampung Santan.
Hasilnya cukup memuaskan. Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak melayangkan surat resmi kepada Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan yang juga merangkap sebagai Ketua Penilai Amdal di Jakarta. Surat tersebut bertanggal 28 Oktober 2015.
Sebagai kepala daerah, Awang menyatakan penolakannya terkait rencana peningkatan produksi Indominco dan pengalihan tiga sungai tersebut. “Kami selaku kepala daerah pemprov Kalimantan Timur meminta saudara untuk menolak izin lingkungan terhadap rencana kegiatan relokasi/pengalihan Sungai Santan, Kare, dan Pelakan,” tulis Gubernur dalam suratnya.
Berkali-kali saya mencoba menghubungi Nasution untuk meminta konfirmasi. Baru pada Jumat (11/12) dia mengangkat telponya. “Maaf ya saya sedang rapat,” jawabnya singkat.
Di Desa Santan, kabar penolakan dari Gubernur sudah menyebar. Rasa syukur diucapkan berkali-kali .Namun Sarifudin, Yusuf, Zulkifli masyarakat desa lainnya sadar perjuangan mereka masih panjang. Kewenangan penerbitan amdal tetap berada di pemerintah pusat.
Saat menyusuri Desa Santan dari hulu ke hilir, saya menjadi saksi kesuburan wilayah ini. Kelapa, jagung, singkong, padi, sayur mayur hingga kelapa sawit menjadi pemandangan sepanjang jalan. Sungai Santan membawa keberkahan bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya dari generasi ke generasi. Membayangkan sungai ini akan ditambang, ucapan Sarifudin kembali membuat saya merinding.
“Kami akan melawan jika Sungai Santan diusik!”