Bisnis.com, JAKARTA - Marco Lim mulai dikenal para pencinta kuliner sejak namanya menjadi brand salah satu rumah makan padang mewah di Setiabudi One pada 2009. Marco Padang Peranakan Resto menyajikan menu peranakan khas Minang, Sumatra Barat yang diracik berdasar kan hasil riset selama hampir satu tahun.
Keberhasilannya membawa masakan rumah seharihari masyarakat Minang ke Ibu Kota terbukti dengan berkembangnya restoran yang kini memiliki lima gerai di berbagai pusat perbelanjaan ternama di Jakarta.
“Kami memakai nama peranakan, di sini yang berarti menu yang kami sajikan biasanya menjadi sajian seharihari masyarakat Minang di meja makan keluarga,” tuturnya.
Menurut Marco keterlibatan dalam bisnis kuliner daerah ini bukanlah bagian dari cita-cita dalam hidupnya. Tinggal dan besar dalam lingkungan Minang yang mewarisi keturunan China, membuatnya bermimpi menjadi seorang wirausaha yang sukses.
Ternyata takdir tak linier dengan harapannya. Selepas dari Sekolah Menengah Atas di Padang, dia bertolak ke Jakarta untuk melanjutkan belajar di Universitas Atmajaya jurusan Ilmu Administrasi (1982). Dorongan kuat untuk menjadi wirausaha membuatnya memilih untuk tidak menuntaskan pendidikan sarjananya.
“Saya pernah usaha batu bara, kayu sampai jadi orang gudang di perusahaan sebelum kemudian mulai bosan dan curhat ke saudara saya,” ujarnya.
Selama di Jakarta dia tinggal dengan sepupunya, yang kini menjabat sebagai Chief Executive of Healthcare Company Arya Noble, Richard Handoko. Selama tinggal di rumah tersebut, Marco kerap memasak masakan Padang untuk dimakan bersama. Satu hari Marco mengutarakan keinginanya untuk mendapatkan pekerjaan baru pada Richard. Bakat terpendam Marco yang jago memasak, ternyata dilihat dengan jeli oleh Richard sehingga menawarinya untuk membuka restoran. Marco yang belum menyadari dirinya bisa memasak, masih ragu dan meminta waktu untuk melakukan riset terlebih dahulu.
“2008 saya mulai riset, dari sering bolak-balik PadangJakarta, dan jadi rajin menelpon ibu saya untuk menanyakan resep,” ujar ayah dari tiga anak ini.
Selain mendapatkan resep dari keluarga, Marco juga mendapatkan resep menu-menu autentik khas Padang berkat blusukan ke pasar tradisional yang lokasinya jauh dari pusat kota Padang, Sumatra. Marco mengungkapkan seluruh bahan masakan yang disajikan di restorannya dikirim dari Sumatra.
“Rasanya beda lho, cabai Jakarta dan Padang.”
Selain bahan makanan, ternyata alat memasak juga sangat berpengaruh pada rasa. Marco mengenang dapur ibunya di Padang dahulu menggunakan tungku dengan kayu bakar yang beraroma autentik. Akhirnya hal ini juga Marco terapkan di dapur pusat restorannya yang terletak di daerah Tomang, Jakarta Barat.
Semua itu, dilakukannya demi mendapatkan rasa yang sama dan khas Sumatra, di lidah khalayak Ibu Kota. Kerja kerasnya tidak sia-sia. Terbukti, beragam menu yang disajikan di Marco Padang Peranakan Resto diakui otentik oleh penggemar kuliner. Para penyuka masakan Padang seringkali mengobati kerinduannya dengan masakan khas Padang di tempatnya. Beberapa menu seperti pete kacamata dan martabak manis kelapa yang jarang ditemui di restoran Padang kebanyakan, disajikan secara khusus oleh Marco.
DUKUNGAN KELUARGA
Menekuni dunia kuliner selama sembilan tahun, tidak lantas membuat Marco tak menjejakkan kaki di bumi. Dia mengakui peran keluarga, terutama ibu dan istrinya sangat besar dalam mendorong kesuksesan kariernya di dunia kuliner. Selain ibu, sosok nenek serta tante yang sering memintanya menjadi pencicip masakan menjadi hal yang bermakna baginya.
“Dulu kalau nenek saya atau tante masak, saya suka bantuin parut kelapa atau yang lainnya. Kemudian kalau saya lagi main, pasti sering dipanggil buat cicipi masakan, kalau saya belum bilang pas masakan tersebut belum bisa dihidangkan,” kenang Marco.
Salah satu kunci kesuksesannya dalam memasak ternyata tidak lepas dari pesan sang ibu. “Memasak harus dilakukan dengan hati yang gembira, tidak boleh stres. Jika sudah senang masak, apapun akan jadi enak,” ujarnya.
Sosok ibu memang sangat luar biasa di mata Marco. Kebahagiaannya saat ini adalah melihat ibu merasa bangga atas keberhasilan yang diraihnya.
“Sampai sekarang saya masih mengandalkan ibu jika akan membuat menu baru. Sejak gempa Padang 2012, Ibu saya sudah pindah ke Jakarta jadi lebih mudah ketemu,” ujarnya.
Keseriusan Marco dalam melakukan riset dan uji coba resep seringkali dilakukannya hingga tiga bulan. Dia menceritakan menu rendang khas Marco didapatkannya setelah mencoba beragam varian rendang.
“Randang itu sebenarnya teknik, ‘merandang’ yang berarti dalam proses membuat randang diperlukan pemanasan yang ekstra lama,” katanya.
Di Sumatra memiliki beragam jenis rendang berdasarkan daerah. Contohnya saja rendang di Bukittinggi akan berwarna lebih gelap dibandingkan rendang di kawasan Padang Panjang yang lebih kental.
Marco mengungkapkan sangking seriusnya membuat randang saat masa percobaan, hampir setiap hari dia memasak randang dan dijadikan menu oleh keluarga.
“Iya saya masak rendang setiap hari pakai daging satu kilo-an setiap hari selama tiga bulan, dan istri saya sampai sekarang belum mau makan randang lagi,” ujarnya.
Menurutnya, dukungan istri dan ketiga anaknya merupakan pendorong semangatnya untuk menyajikan masakan yang terbaik untuk pelanggan. Di sela-sela kesibukannya, Marco selalu menyempatkan waktunya bersama keluarga.
Pria yang menikah pada 2006 ini mengaku tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada anak. Menurutnya, anak-anak harus berjalan sesuai dengan keinginannya masing-masing. Peran orangtua hanyalah melindungi dan mengawasi.
“Anak saya belum ada yang tertarik suka masak, tetapi mereka suka masakan saya terkadang secara khusus saya diminta memasak menu Padang untuk anak-anak,” katanya.
Keinginanya untuk menyajikan menu otentik dari Sumatra telah tercapai saat ini. Dia puncak tangga kesuksesannya, Marco masih berupaya keras untuk membawa masakan Minang ‘naik kelas’ ke dunia kuliner internasional.