Bisnis.com, KUALALUMPUR – Defisit neraca perdagangan Indonesia dan China diyakini akan berangsur mengecil setelah Protocol to Amend ASEAN – China FTA ditandatangani. Produk unggulan ekspor Indonesia yang selama ini kesulitan masuk ke pasar negeri bambu tersebut diyakini akan lebih mudah mendapatkan akses pasar.
Direktur Kerja Sama Perdagangan Internasional Bachrul Chairi Kementerian Perdagangan mengatakan dalam peningkatan kerja sama ASEAN+1 tersebut, China diminta untuk mengubah ketentuan rule of origin-nya (ROO) yang semula dua tahap menjadi hanya satu tahap.
“Artinya kita akan lebih mudah masuk ke sana. Enam ratus produk kita yang kepentingannya ada di sana bisa dibuka, aksesnya lebih mudah,” kata Bachrul di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-27 di Kuala Lumpur, Malaysia, Minggu (22/11/2015).
Beberapa produk yang dimaksud a.l. tekstil dan produk tekstil, kayu dan produk kayu, furnitur, kertas dan produk kertas, alas kaki, serta otomotif. Penandatanganan protokol tersebut merupakan satu tahap yang menunjukkan bahwa China ingin mendapatkan peran yang lebih besar di kawasan ASEAN. Adapun, di sisi lain, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China diharapkan akan semakin berkurang.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan Perdagangan Indonesia dengan China pada 2014 mencapai US$48,23 miliar. Dari jumlah tersebut, impor Indonesia dari China mencapai US$30,62 miliar dan ekspor Indonesia ke China sebesar US$17,60 miliar, sehingga menghasilkan defisit neraca perdagangan bagi Indonesia sebesar US$13,02 miliar. Nilai defisit tersebut selama lima tahun terakhir (2010 - 2014) mengalami pertumbuhan negatif sebesar 32,57%.
Direktur Kerja Sama ASEAN Ditjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Kemendag Donna Gultom mengatakan, komitmen perdagangan bebas ASEAN – China yang mencapai 90% barang yang diperdagangkan dengan bea masuk 0% atau mendekati 0% ternyata terkendala dalam aturan ROO.
China membuat ketentuan ROO melalui dua tahap yaitu Regional Value Content (RVC) sebesar 40% dan a change in tariff heading (CTH). Keduanya harus dipenuhi eksportir jika ingin mendapatkan reduksi bea masuk. Hal tersebut sangat ketat, karena regional konten saja dianggap tidak cukup dan mesti mengalami pengolahan. Produk garmen menjadi salah satu barang yang kesulitan menembus pasar China karena adanya ketentuan tersebut.
“Akhirnya para pelaku usaha marah. RCEP pun mereka tidak mau, terutama tekstil. Dianggap tidak ada gunanya, karena tidak pernah bisa masuk pasar China. Ternyata setelah kita lihat, ROO yang menjadi masalahnya.”
Terbukti bahwa produk-produk industri asal Indonesia yang disebut di ataslebih banyak masuk ke pasar seperti Amerika dibanding ke China, meskipun Indonesia – salah satu anggota ASEAN, memiliki kerja sama FTA dengan China.
Dengan adanya penandatanganan Protocol to Amend ASEAN – China FTA, maka ketentuan ROO tersebut tidak lagi terdiri dari RVC 40% dan CTH, namun pelaku usaha cukup menggunakan salah satu diantara keduanya untuk mendapatkan manfaat perdagangan dari kerja sama ASEAN + 1.
Kesepakatan dengan China tersebut diperoleh setelah 12 negara anggota Kemitraan Trans Pacific menyelesaikan teks FTA-nya. Hal tersebut membuat China mengejar percepatan RCEP. Adapun, penandatanganan protocol tersebut menjadi salah satu upaya yang dilakukan China sebagai momentum untuk mengejar TPP.
“Akhirnya dia banyak give in. Kita minta banyak diperbaiki, tapi dia tidak bisa beri semua. Permasalahan kita adalah ROO. Produk-produk kita yang selama ini tertahan, sekarang dilonggarkan.”