Kabar24.com, JAKARTA -- Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Muhammad Nurhuda, butuh waktu lima tahun untuk menyelesaikan sebuah kompor biomass.
Alat memasak ciptaannya itu tidak menggunakan bahan bakar minyak tanah atau gas melainkan kayu cacah. Selain kayu cacah bisa juga menggunakan pelet, sawit atau butiran kayu. Jika menggunakan bahan bakar butiran kayu atau pelet akan menghasilkan masakan yang lebih beraroma. Dengan bahan bakar tersebut kompor ini pun disebut kompor ramah lingkungan.
Menurut Nurhadi, limbah biomassa, misalnya jerami, sekam padi, sampah kota secara logika tidak mungkin digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak. Namun, jika limbah-limbah diatas diubah menjadi pellet, justru akan menjadi bahan bakar yang sangat bagus bagi tungku biomass dengan nyala api tanpa asap.
“Hal tersebut terbukti dengan kompor biomassa yang diberi bahan bakar pellet, selain alat memasak yang digunakan tidak mudah terpapar api, kompor tersebut juga tidak menimbulkan asap yang merusak ruangan dan buruk bagi kesehatan,” katanya saat dihubungi Bisnis.
Selain itu konversi limbah biomass menjadi pellet akan menciptakan nilai tambah bagi lingkungan karena menjadi lebih bersih. Tak hanya itu peluang lain juga dapat menciptakan lapangan kerja, baik bagi produser pellet, distributor maupun pengguna kompor.
Nurhadi mengatakan, kompor ini memberikan kenyamanan lebih kepada pengguna tidak akan ada lagi kekhawatiran adanya ledakan tabung seperti banyak kasus selama ini. Tak hanya itu api yang dihasilkan kompor ini biru dan sangat bersih serta dapat dihidupkan dan dimatikan dengan segera.
“Laju pembakaran bahan bakar 300 gram per 30 menit, lama nyala api bisa mencapai 1.5 sampai dengan 2 jam (tanpa penambahan), bila diisi penuh dengan kayu keras. Jumlah bahan bakar sekitar 1 sampai dengn 1.5 kg,” ujar Nurhadi.
Bentuk
Bentuk kompor seperti tabung atau gentong, bagian bawah besar, dan sisi miring yang mempunyai lubang-lubang. Nyala api dapat dikontrol oleh panel pengatur aliran udara gasifikasi, sekaligus pintu pembuangan abu. Tungku dibuat dengan model knock down, dapat dibongkar pasang.
Kompor biomassa ini telah dipasarkan di luar negeri melalui kerjasama dengan perusahaan di Norwegia, Prime Stoves. Melalui perusahaan tersebut kompor ini sudah dipasarkan di negara Zambia, ke Benua Afrika, dan Senegal. Sedangkan untuk didalam negeri sudah menjalin kemitraan dengan kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Pemda NTT.
“Di Indonesia, terutama Jawa, pemasaran kompor biomassa sangat sulit. Hal ini karena gaya hidup masyakarat sudah berubah semenjak adanya LPG yang instan dan praktis serta tidak tertandingi oleh kompor bahan bakar apapun meskipun minyak tanah,” kata Nurhadi.
Murah
Di samping itu, bahan bakar LPG bersubsidi adalah bahan bakar yang paling murah untuk tiap satuan kalori yang sama dibandingkan dengan minyak tanah, bahkan pellet biomassa sekalipun. Jadi, tidak ada alasan rasional apapun yang dapat diterima orang akan memilih pellet biomassa, sepanjang LPG masih disubsidi seperti sekarang ini.
“Di luar negeri, seperti India mungkin kompor ini mudah diterima karena LPG di sana tidak bersubsidi,” kata Nurhadi.
Dia berharap ke depan kompor ini akan menjadi solusi bagi seluruh masyarakat saat harga LPG sudah tidak terjangkau lagi di Indonesia. Mengenai hak paten atas hasil penelitiannya, oleh Nurhadi kompor biomassa sudah resmi terdaftar di Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
Sementara itu, selain kompor biomassa ini Universitas Brawijaya telah menyelanggarakan Ritech Expo pada akhir bulan lalu untuk memamerkan 70 hasil penelitian mahasiswa dan dosen. Beberapa inovasi peneliti UB tersebut adalah alat pendeteksi dini tsunami dan banjir dan Mesin Penetas Telur Penyu.