Bisnis.com, PALEMBANG - Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Provinsi Sumatra Selatan Ahmad Rizal mengatakan berbagai pihak harus memandang lebih jauh mengenai kebakaran hutan yang terjadi saat ini, karena bisa jadi ada upaya asing untuk mengambil alih industri sawit nasional melalui perantara.
"Saya justru curiga ada permainan apa, mengapa Singapura mau menuntut Indonesia secara legal internasional?. Sementara seperti diketahui sebagian besar perusahaan yang bergerak di kehutanan adalah milik nasional," kata Rizal, Senin (5/10/2015) ketika diminta tanggapan terkait kasus kebakaran hutan dan lahan.
Sebagai seseorang yang sudah lama berkecimpung di organisasi bisnis dan profesi, tuturnya, Indonesia sebagai negara yang saat ini menjadi sorotan dunia terkait bencana kabut asap harus mengambil sikap yang tepat dan tidak perlu emosi, seperti menutup sejumlah perusahan.
Menurut hakim Badan Abritrase Nasional ini, setiap perusahaan seperti bubur kertas dan Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam kategori "besar" telah memiliki rencana perusahaan untuk jangka panjang, yakni minimal 20-30 tahun terkait pasokan bahan baku sehingga dipastikan akan menjaga kesuburan tanah.
"Aneh rasanya jika perusahaan dituduh membakar hutan, karena itu justru merugikan buat mereka. Apalagi, perusahaan ini sudah diawasi oleh badan lingkungan dunia, seperti The Forest Trust, Rainforest Alliance, dan Greenpeace, yang jika melanggar aturan terkait lingkungan maka produknya tidak ada diterima," katanya.
Ada kemungkinan, lanjutnya, kebakaran lahan ini disengaja oleh oknum tertentu untuk merusak citra perusahaan sawit nasional dengan memperalat warga.
Oleh karena itu, anggota dewan penasihat Apindo Sumsel ini mengharapkan pemerintah mawas diri karena ada kemungkinan pihak yang ingin mengambil industri sawit nasional melalui tangan lain. Pola lainnya dapat juga berupaya membuat industri sawit Indonesia mati, lalu ketika dibeli investor asing menjadi sangat murah.
Menurutnya, hal ini cukup masuk akal, karena Indonesia merupakan negara yang berada di ekuator (garis khatulistiwa) dengan dua musim, sedangkan di belahan dunia lain ada negara yang dihadapkan pada empat musim.
Sumber Daya Alam Indonesia demikian berlimpah, asalkan dikelola dengan baik dan berkelanjutan maka pada 20 tahun ke depan bakal menjadi sorotan dunia, karena menjadi negara pemberi makan dunia (energi dan pangan).
"Sekarang pertanyaannya, negara yang tidak tinggal di equator, bagaimana cara mereka untuk bisa eksis? Jika tidak memiliki kantong energi sendiri, maka dipastikan mereka menjadi negara minus dan sangat tergantung dengan negara lain," kata Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Provinsi Sumsel ini.
Untuk itu, jika berpandang lebih jauh, maka sudah sepatutnya Indonesia mewaspadai intrik-intrik yang mungkin digulirkan melalui isu lingkungan.
Sebelumnya, produk minyak sawit Indonesia dilarang masuk ke Amerika Serikat karena negara tersebut menerapkan standar tertentu terkait kondisi lingkungan. Isu lingkungan ini sudah lama digulirkan, termasuk kampanye bahwa minyak sawit tidak baik untuk kesehatan jika dibandingkan minyak biji matahari dan kedelai.
"Industri sawit nasional ini harus dipertahankan, jangan sampai Indonesia kalah. Mengenai kebakaran lahan, semua sudah sepakat bahwa harus dipadamkan dan dicari jalan keluarnya agar tidak terjadi lagi. Tapi, jangan karena ini bakal mengkerdilkan industri sawit nasional," kata dia.
Ahli tata kelola air dan hidrologi Universitas Sriwijaya Momon Sodik Imanudin mengatakan saat ini disinyalir ada oknum yang sengaja merusak citra perusahaan perkebunan besar.
Kemungkinan juga, kebakaran hutan dan lahan ini dilakukan perusahaan perkebunan kecil dengan luas lahan di atas 2 hektare, tidak memiliki dana operasional yang besar untuk membuka lahan.
"Warga disuruh dengan uang hanya Rp300.000-Rp600.000, lantaran mereka dalam keadaan miskin jadi mau saja. Jadi jika ingin menuntaskan persoalan kebakaran hutan dan lahan, harus ada kompensasi agar warga tidak membakar. Intinya, mensejahterakan warga di sekitar areal konsesi," kata dia.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) terdapat 10 juta hektare perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan sekitar 44 persen di antaranya merupakan perkebunan rakyat, dan 49% serta 7% dikuasai oleh perusahaan swasta dan BUMN.
Pada 2014, industri ini mampu menyerap sekitar 21 juta tenaga kerja dan berkontribusi 13 persen pada ekspor nasional, atau untuk saat ini menjadi bantalan bagi defisit negara perdagangan.