Kabar24.com, PADANG—Forum Komunikasi Masyarakat Tionghoa Indonesia (FK-MTI) meminta pemerintah Kota Padang merevisi Perda No.11/2011 tentang Retribusi Jasa Umum, di dalamnya termasuk retribusi makam yang dinilai memberatkan warga etnis Tionghoa.
Valentinus Gunawan, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Tionghoa Indonesia (FK-MTI) Kota Padang menyebutkan warga Tionghoa keberatan dengan retribusi makam yang dinilai sangat mahal.
“Kami minta revisi perda itu, karena dalam praktiknya warga Tionghoa harus membayar sangat mahal,” katanya kepada Bisnis, Rabu (27/5/2015).
Menurutnya, banyak keluhan dari warga Tionghoa yang tinggal di Padang, sehingga LSM FK-MTI pun melayangkan surat kepada Wali Kota Padang dan Ketua DPRD Padang untuk meminta revisi perda tersebut.
Dalam Perda No.11/2011 itu juga mengatur retribusi pelayanan pemakaman di Tempat Pemakaman Umum (TPU).
Beleid tersebut menetapkan biaya pemakaman untuk ukuran makam standar 1x2 meter atau dua meter persegi di Lokasi A Rp375.000 per makam dan Lokasi B Rp300.000 per makam.
Selain itu, setiap dua tahun, makam dikenai sewa tanah Rp125.000 di Lokasi A dan Rp100.000 di Lokasi B.
Untuk retribusi dua tahunan itu, makam yang lebih luas dari ukuran standar dikenai biaya kelebihan tanah Rp250.000 per meter persegi di Lokasi A dan Rp200.000 di Lokasi B.
Persoalannya, kata Valentinus, perda tersebut menyamakan ukuran standar makam etnis Tionghoa dengan makam umat Muslim yang merupakan penduduk mayoritas Padang.
Padahal, budaya Tionghoa yang sudah turun temurun menetap di Padang, biasanya juga kuburan pasangan suami istri selalu berdampingan dengan ukuran minimal 2x3 meter, sehingga luas satu kuburan pasangan 4x6 meter.
Tokoh masyarakat Tionghoa di Padang Albert Hendra Lukman mengatakan makam pasangan 4x6 meter atau sama dengan 24 meter persegi di Lokasi A dikenai biaya standar Rp125.000 untuk dua meter ditambah kelebihan tanah 22 meter kali Rp250.000 per meter.
“Kalau mengacu ke situ, artinya dalam dua tahun satu makam pasangan suami istri harus membayar Rp5,6 juta. Sangat mahal itu,” katanya.
Albert merincikan satu makam diwajibkan membayar Rp2,8 juta atau Rp1,4 juta untuk satu orang per satu tahun. Jumlah itu dinilai tidak masuk akal karena lebih tinggi dari pajak bumi dan bangunan.
Dia mengungkapkan etnis Tionghoa tidak mungkin mengikuti standar makam Muslim, karena bagian dari budaya dan sudah diterapkan turun temurun.
Dampak perda itu, sebagian besar warga Tionghoa lebih memilih mengkremasi jenazah karena mahalnya retribusi.
Anggota DPRD Sumatra Barat dari PDI Perjuangan itu mengatakan banyak warga Tionghoa asal Padang yang sudah merantau ke luar daerah bahkan ke luar negeri, namun memilih jenazahnya tetap dimakamkan di Padang.
“Ini kan sebenarnya potensi daerah. Karena setiap 5 April ada peringatan Ceng Beng [mengunjungi makam leluhur], kerabat-kerabatnya dari luar negeri pada datang,” katanya.
Dia mengatakan retribusi makam di Kota Padang bisa dibilang paling mahal di Indonesia.
Di Semarang misalnya, satu makam hanya dipungut Rp50.000 per tahun selama empat tahun. Baru naik 50% empat tahun berikutnya, dan 100% untuk empat tahun ketiga, dan 200% seterusnya.
Sementara itu, Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah mengatakan akan mengevaluasi perda tersebut, sebelum diajukan untuk direvisi.
“Kami kaji dulu apakah perlu direvisi. Kami juga pertimbangkan apakah revisi nanti disetujui Dewan karena itu kewenangan Dewan,” ujarnya.
Dia mengatakan sudah menyampaikan imbauan kepada masyarakat yang kurang mampu untuk mengajukan keringanan pungutan dengan menyertakan surat keterangan kurang mampu.