Kabar24.com, JAKARTA— Eksekusi mati tak bisa dilepaskan dari sosok regu tembak atau eksekutor. Menjelang pelaksanaan eksekusi mati jilid II para pengedar narkoba di Indonesia, theguardian.com, Jumat (6/3/2015) mengupas tuntas figur tokoh menentukan dalam pelaksanaan hukuman mati itu.
Theguardian.com mewawancarai salah seorang polisi yang pernah bertugas menjadi eksekutor terpidana mati di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Fakta psikologis hasil wawancara dengan anggota regu tembak hukuman mati itu dikemas dalam berita berjudul Death Penalty in Indonesia: An Executioner’s Story (Hukuman Mati di Indonesia: Kisah Seorang Eksekutor).
”Menarik pelatuk itu perkara mudah. Bagian tersulit adalah saat bersentuhan langsung dengan terpidana mati yang hendak dieksekusi. Saat harus mengikat mereka ke sebuah tiang berbentuk salib. Itu merupakan momen-momen terakhir kedekatan yang bisa menghantui selamanya,” tulis media massa yang berbasis di Inggris itu mengutip polisi eksekutor hukuman mati yang tak disebutkan nyata jati dirinya tersebut.
Polisi yang masih muda dan menolak disebutkan namanya karena sensitifnya peranan dia sebagai eksekutor, merupakan anggota kesatuan Brigade Mobil (Brimob).
“Beban mental lebih berat untuk petugas yang bertanggung jawab menangani terpidana mati ketimbang menembaknya,” sambung eksekutor itu, “karena mereka terlibat sejak menjemput, mengikat tangan terpidana mati, hingga mereka meninggal.”
Dibayar Rp1 Juta
Anggota Brimob memang mendapat tugas sebagai eksekutor dalam menjalankan eksekusi terhadap para terpidana mati. Namun, Brimob bukan murni eksekutor, melainkan hanya sebagai pasukan khusus polisi yang mendapat tugas mengeksekusi mati.
Kejaksaan Agung pernah mengungkapkan seorang eksekutor mendapat bayaran sekitar Rp1 juta dalam melaksanakan tugas negara di Nusakambangan itu. Untuk eksekusi di Nusakambangan, regu tembak dipercayakan kepada Brimob Polda Jateng.
Menurut polisi ini, dalam pelaksanaan eksekusi, satu tim ditugasi mengawal dan mengikat terpidana mati, tim lainnya menjadi penembak. Polisi yang menjadi sumber theguardian.com ini pernah menjadi anggota kedua tim.
“Kami melihat mereka dengan sangat dekat, sejak mereka masih hidup dan berbicara, hingga mereka meninggal,” ungkap dia.
Menurut penuturannya, lima anggota Brimob menangani satu terpidana mati, mulai menjemput mereka dari sel isolasi pada tengah malam dan mengawal mereka sampai tanah lapang tempat eksekusi. Saat mengikat tubuh mereka ke tiang, regu tembak menjalankan tugasnya tanpa bicara.
“Saya tidak berbicara dengan terpidana mati. Saya memperlakukan mereka seperti anggota keluarga sendiri,” terangnya.
”Saya hanya berkata, ’maafkan saya, saya hanya menjalankan tugas.”
Dan di tengah kegelapan malam, dari jarak 10-12 meter, eksekutor kemudian menarik pelatuk dari senapan M16 saat diperintah menembak. Hanya beberapa eksekutor yang dilengkapi peluru tajam sehingga mereka tidak tahu peluru siapa yang menewaskan terpidana mati.
Tangguh Mental dan Fisik
Eksekutor para terpidana mati dipilih berdasarkan kemampuan menembak dan ketangguhan mental serta fisik mereka. Mengenai tugas sebagai eksekutor, dia mengaku perannya sebatas menjalankan tugas sesuai dengan undang-undang.
”Saya terikat sumpah prajurit,” ujarnya. ”Terpidana mati melanggar hukum dan kami menjalankan perintah. Kami hanya eksekutor. Pertanyaan apakah saya berdosa atau tidak, biar Tuhan yang memutuskan.”
Menurut dia, setelah mengeksekusi terpidana mati, eksekutor menjalani kelas panduan spiritual dan bantuan psikologis selama tiga hari.
Ternyata pula, ada batasan berapa kali eksekutor bisa menjalankan tugasnya.
”Jika kami harus mengeksekusi satu atau dua kali, itu tidak masalah. Namun jika terlalu sering, tentu akan berpengaruh terhadap psikologis kami.”
Berbicara kepada The Jakarta Post, baru-baru ini, Kepala Korps Brimob Polri, Brigjen Pol. Robby Kaligis, yang pernah menjadi anggota regu tembak pada 1980-an, mengakui adanya beban psikologis pada pasukannya.
“Menembak itu bagian termudah. Yang paling sulit adalah memastikan mereka siap secara mental,” ujar Robby yang pernah menjadi Kapolres Solo ini.
Robby juga mengaku tak ingin mengingat-ingat pengalamannya sebagai eksekutor hukuman mati.
“Saya tak ingin mengingat itu sebagai bagian hidup saya. Kita harus fokus pada masa kini dan masa depan.”