Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah menunggu penjelasan mengenai kelanjutan penyelidikan kasus pelemparan balon berisi cairan sewarna darah di Konsulat Jenderal Republik Indonesia KJRI) Sidney, Australia.
Marciano Norman, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), mengatakan otoritas kepolisian Australia belum memberikan penjelasan mengenai kasus pelemparan balon di KJRI Sidney, Australia. Padahal, pihak kepolisian setempat sudah menyatakan akan memberikan bantuan untuk mencari pelaku pelemparan, dan mendalami motifnya.
“Otoritas kepolisian Australia sudah menyampaikan akan membantu. Itu yang sedang kami tunggu, karena sampai sekarang mereka belum memberikan penjelasan,” katanya di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (4/3/2015).
Marciano menuturkan otoritas keamanan Australia seharusnya langsung memberikan tambahan keamanan untuk seluruh KJRI, agar kejadian serupa tidak terulang. Dia khawatir ke depannya akan ada aksi yang lebih parah dari pelemparan balon berisi cairan sewarna darah tersebut.
Menurutnya, aksi pelemparan balon tersebut merupakan ancaman gangguan keamanan yang parah di semua kantor perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri. Meski demikian, dia yakin aksi tersebut tidak akan mempengaruhi hubungan bilateral Indonesia dengan Australia.
“Kita bisa lihat dari reaksi warga Australia terhadap kebijakan Indonesia yang tidak ingin kedaulatan hukumnya didikte oleh negara manapun juga,” ujarnya.
Marciano juga menyebut sebenarnya negara lain banyak yang telah memahami eksekusi terpidana mati kasus narkoba di Indonesia. Hingga kini, baru Australia dan Brasil yang melakukan aksi keras terhadap eksekusi warga negaranya di dalam negeri.
Seperti diketahui, Gedung KJRI di Sydney, Australia, dilempar balon berisi cairan yang memiliki warna seperti darah pada 3 Maret 2015. Hal itu diketahui setelah staf konsulat melihat genangan cairan itu di depan gerbang kantornya.
Insiden tersebut diduga sebagai aksi protes terhadap rencana eksekusi warga negara Australia yang menjadi terpidana mati karena menyelundupkan narkoba. Pasalnya, sebelumnya KJRI di Sydney telah menerima sejumlah email, telepon, dan surat dari masyarakat Australia yang memprotes rencana eksekusi tersebut.