Kabar24.com, SURABAYA— Dua mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya memenangkan kompetisi yang digelar di Harvard University, Amerika Serikat.
Mereka merebut gelar "The Best Social Venture Challenge" dalam kompetisi bertajuk Harvard National Model United Nations (HNMUN) 2015.
Keduanya adalah R. Aditya Brahmana dari jurusan Teknik Informatika dan Yabes David Losong dari jurusan Teknik Mesin.
Aditya dan Yabes berhasil menyisihkan sekitar 3.000 mahasiswa dari 70 negara di dunia. Mereka berdua dianugerahi satu dari lima penghargaan yang diperebutkan dalam kompetisi tersebut.
Social Venture Challange (SVC) merupakan gelar juara yang diberikan kepada tim yang memiliki proyek sosial yang memberikan dampak terbesar bagi perekonomian masyarakat.
Proyek sosial yang diangkat adalah pemberdayaan petani dan peternak di Desa Mojosari, Kabupaten Mojokerto untuk membuat vermikompos berbahan dasar cacing tanah dan limbah kotoran sapi.
"Vermikompos tersebut kemudian dijadikan sebagai pupuk untuk meningkatkan produktivitas jagung saat kemarau," tutur Yabes melalui rilis tertulis, Senin (2/3/2015).
Proyek itu menarik perhatian dewan juri. Juri, kata Yabes, sangat terkesan karena berhasil mengubah sesuatu yang jorok bagi khalayak umum menjadi bernilai ekonomi tinggi.
"Mereka terbuka pikirannya dengan hal yang menjijikkan, tapi bisa menghasilkan uang," imbuh Yabes.
Mekanisme kompetisi utama adalah para peserta menjadi representasi dari suatu negara dan dinilai berdasarkan keaktifan diplomasi dengan negara lain dalam memberikan resolusi atas permasalahan dunia. SVC adalah satu dari lima cabang kompetisi.
Saingan Berat
Selain satu tim pemenang, terdapat dua tim ITS lainnya yang turut mengikuti perlombaan ini dalam kategori SVC. Keduanya juga berhasil masuk ke babak final.
"Negara-negara di Amerika Latin yang paling berat, karena mereka sangat ambisius," ujar Aditya, partner Yabes. Aditya, Yabes, dan beberapa tim mempersiapkan diri sejak Oktober 2014.
Mahasiswa angkatan 2011 itu mengungkapkan, permasalahan yang dibahas di PBB tidak hanya berkutat mengenai sosial dan hubungan internasional saja.
"Tetapi juga permasalahan alam dan eksakta yang membutuhkan campur tangan orang-orang teknik," kata Aditya.
Untuk itu, Yabes berpesan agar mahasiswa teknik tak 'alergi' terhadap bidang sosial, politik, maupun hubungan internasional.
Menurutnya, pemikiran-pemikiran mahasiswa teknik dapat diaplikasikan dalam dunia politik.
"Sebab engineering atau teknik tanpa politik itu, kuli," cetusnya.