Bisnis.com, JAKARTA—Banyaknya dissenting opinion (DO) dalam putusan banding Asian Agri Group (AAG) secara khusus mengindikasikan adanya masalah terkait penerbitan surat ketetapan pajak (SKP) yang sepenuhnya menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA).
Pengamat perpajakan dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Adrianto Dwi Nugroho mengatakan alasan DO kemungkinan karena hakim melihat ada langkah Ditjen Pajak yang kurang tepat dengan menjadikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) sebagai bukti permulaan untuk menyasar kasus pidana pajak perusahaan AAG.
Padahal, tuturnya, hasil akhir LHP semestinya adalah penerbitan SKP yang mengutamakan tindakan untuk menyelesaikan masalah administrasi perpajakannya.
“Filosofi pajak adalah mengumpulkan dana, bukan mempidana,” katanya, Jumat (20/2/2015.)
Anehnya, LHP pajak dalam kasus terkait Manager Pajak AAG, Suwir Laut, ini bahkan tidak pernah disampaikan kepada pihak AAG.
Pendapat berbeda atau DO keempat—yang disampaikan satu dari tiga hakim majelis Pengadilan Pajak—kembali mewarnai putusan banding untuk perusahaan AAG.
Putusan banding dengan DO dari majelis hakim yang lain adalah untuk PT Raja Garuda Mas Sejati, PT Rigunas Agri Utama, dan PT Supra Matra Abadi.
Dalam sidang pengucapan putusan banding PT Andalas Intiagro Lestari (AIL)—perusahaan AAG keenam yang dibacakan Rabu (18/2/2015), hakim anggota Entis Sutisna menilai Pengadilan Pajak tak berwenang memeriksa dan memutuskan materi banding yang diajukan pemohon karena merupakan tindak lanjut atas putusan kasasi MA.
“Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKP KB) PPh Pasal 26 dan PPh Badan yang diterbitkan Ditjen Pajak bukan merupakan hasil pemeriksaan. UU KUP tidak mengatur kondisi yang semacam ini. Oleh karena itu, permohonan banding tidak dapat diterima oleh Pengadilan Pajak.”
Dia menambahkan meskipun pilihan memutuskan menerbitkan SKP tak salah, masyarakat tak bisa menghindari kesan bahwa kasus AAG harus dihukum atau dibebani sanksi seberat-beratnya.
“Ada sanksi di atas sanksi khususnya dari aspek besaran denda administrasi perpajakan yang dikenakan pada AAG,” tuturnya.
Dengan demikian, itu mengindikasikan adanya hakim yang relatif independen.
Dalam kesempatan terpisah, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta Wirawan B Ilyas membenarkan dalam kasus AAG secara umum terjadi problem hukum pungutan pajak ganda.
Saat Pengadilan Pajak menolak banding dan putusan itu dikaitkan dengan putusan MA sebelumnya, ada pungutan pajak ganda dari dua putusan itu.
“Tentu saja persoalan keadilan menjadi dipertanyakan saat menguat pendapat bahwa putusan pidana pajak berbeda dengan putusan administrasi perpajakan sehingga dapat dijalankan bersamaan. Padahal, esensi sesungguhnya dari utang pajak yang mesti dibayar berada pada satu objek pajak yang sama.”