Bisnis.com, JAKARTA--PT Bakrie Telecom Tbk. telah mengajukan rencana perdamaian untuk memuluskan proses permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan PT Netwave Multi Media.
Kuasa hukum PT Bakrie Telecom Tbk. GP Aji Wijaya mengatakan perkembangan bisnis CDMA yang tidak kondusif mengharuskan kliennya untuk merger dengan PT Smartfren Telecom Tbk. Atas upaya perusahaan tersebut pihaknya yakin bisa membayar seluruh utang kreditur melalui proses PKPU.
"Kami langsung menyerahkan rencana perdamaian, jadi tidak ada kesimpulan yang diajukan ke majelis," kata Aji seusai persidangan, Selasa (4/11/2014).
Dalam merger tersebut, perusahaan berkode emiten BTEL hanya sebagai penyelenggara jasa, sedangkan Smartfren akan bertindak sebagai pemegang lisensi frekuensi. Smartfren akan menggabungkan investasi jaringan 4G di 2,3 GHz dan 800 MHz.
Investasi di 2,3 GHz diprediksi mencapai Rp10 triliun, sedang di frekuensi 800 MHz akan menggunakan radio pemancar dual-band sehingga nilai investasi bisa lebih kecil.
Aji menjelaskan dalam rencana perdamaian, kreditur akan dikelompokkan yakni utang usaha, utang penyedia menara, utang biaya hak penyelenggaraan (BHP) frekuensi, dan utang afiliasi. Selain itu, juga ada utang akibat derivatif, utang bank, dan utang pembayaran jaminan.
Pada utang usaha, BTEL akan menyelesaikan pembayaran secara bertahap dengan periode tertentu untuk nilai utang hingga Rp3 miliar. Adapun, pada utang penyedia menara, sisa utang di atas Rp3 miliar sebanyak 30% akan dibayarkan bertahap dan 70% melalui konversi saham dg harga Rp250 per saham.
Pembayaran utang BHP frekuensi akan dibayar dengan periode tertentu. Utang afiliasi terbagi menjadi dua yakni utang pinjaman afiliasi dan utang usaha afiliasi dengan pembayaran tunai bertahap sebesar 30% dan sisanya melalui konversi saham dg harga Rp250 per saham.
Aji menuturkan skema pembayaran yang sama juga akan diterapkan untuk melunasi utang akibat derivatif. Adapun, pada utang bank BTEL akan menyelesaikan utang dengan cara penerbitan convertible bonds dengan amortisasi pada periode tertentu.
Sementara itu, untuk utang pembayaran pemegang jaminan pembayaran akan dilakukan sesuai jadwal kontrak yg disepakati. Kendati demikian, Aji belum bisa menyampaikan jangka waktu pembayaran saat ini karena menunggu proyeksi dari prinsipal.
BTEL, lanjutnya, memiliki total utang di atas Rp4 triliun, tetapi nominal pasti masih memerlukan verifikasi dari pihak kreditur dan debitur.
Pihaknya memperkirakan sumber dana pembayaran akan diambil dari merger dengan perusahaan berkode emiten FREN. Investasi jaringan 4G hasil merger diprediksi bisa menjadi industri baru yang lebih menjanjikan.
Aji mengungkapkan aset yang dimiliki BTEL jauh lebih kecil dibandingkan nilai utangnya. Kemungkinan majelis akan menerima permohonan PKPU oleh Netwave.
"Apa sih aset industri telekomunikasi, mungkin hanya merek dan teknologi, tower saja sewa. Kalau debitur sampai pailit, kreditur tidak mendapatkan apa-apa," ujarnya.
Secara terpisah, kuasa hukum Netwave Sandra Nangoy mengaku belum saatnya memberikan tanggapan. Menurutnya, rencana perdamaian baru akan dibahas pada rapat kreditur dan mendapatkan persetujuan pada voting.
"Terlalu dini untuk menanggapi rencana perdamaian itu, sedangkan permohonan PKPU kami saja belum dikabulkan oleh majelis," kata Sandra kepada Bisnis.